Sunday, February 28, 2010

Setahun Yang Cepat Berlalu

Tak terasa setahun tlah berlalu saat pertama kalinya aku pindah ke
kosku ini. Setahun di kos ini menyimpan begitu banyak kenangan.

Saat pindahan kos kala itu aku dibantu sama temanku si mbah dan si
ndut. Dalam kondisi hujan gerimis yang menaungi Jakarta pagi itu, aku
pindah kos dari kosku di jalan Ciawi, Kebayoran Baru ke kos baruku di
Jalan Madrasah Kebon Jeruk. Kami bertiga memakai 2 motor. Si Mbah yang
sudah tau rutenya naik motor sendirian di depan, sedangkan aku sama Si
Ndut membuntutinya di belakang. Semakin lama laju motor Si Mbah
semakin cepat dan kami pun jadi berpisah, karena aku dan Si Ndut
kesasar sampai Pasar Kebayoran Lama. Sambil menelopon Si Mbah kami pun
mencari jalan keluar dari pasar yang kumuh, becek, dan berbau amis.
Sialnya kakinya Si Ndut kegilas roda gerobak. Dengan bawaan barang-
barang yang seabrek membuat kami kesulitan keluar dari kemacetan pasar
itu yang diakibatkan banyaknya angkot yang ngetem disamping pengguna
jalan lain yang tidak sabar saling serobot. Akhirnya Kami bertemu si
Mbah di Rumah Sakit Medika Permata Hijau.


Sesampainya di kos yang baru kami langsung menuju kamar yang kupilih
di lantai 2. Berhubung Sang Empunya rumah tidak ada, kami pun langsung
cabut ke Pameran Komputer di JCC. Akhirnya kami pun membeli modem
Axxestel Jump Smart. Aku beli yang prabayar sedangkan si Ndut beli
yang pascabayar. Kami pun jadi pelanggan setia internet broadband
Smart sampai sekarang ini. Semoga kualitas layanan internet Smart
semakin baik.


Jadi, selain sudah setahun aku kos di Kebon Jeruk, sudah setahun pula
aku berlangganan internet broadband Jump Smart.

Wednesday, February 10, 2010

Petualanganku di Aceh (Episode 2)

Dalam perjalanan menuju pusat kota Banda Aceh, kami sempatkan untuk mampir ke rumah makan khas Aceh. Ada masakan yang sangat kuingat dan unik menurutku, dan tak lupa kuabadikan dengan kamera digital baruku yang sengaja kubeli khusus untuk ke Aceh karena saat itu kamera SLR-ku lagi dipinjem teman kosku si maning buat wisuda D3-nya. Nama menu masakan itu kalau tidak salah Ayam Tangkap Daun Temurui. Masakan itu terdiri dari ayam kampung yang dipotong kecil-kecil dan digoreng garing beserta daun temurui yang digoreng kering pula. Jadi sensasi makan ayamnya sungguh unik karena diiringi daun temurui yang kriuk-kriuk ketika dimakan.

Usai makan siang, kami pun melanjutkan perjalanan menuju pusat kota, sesampainya di Banda Aceh kujeprat-jepret kameraku dari dalam mobil mengabadikan pemandangan yang Aceh Pasca Tsunami. Kami langsung menuju ke Pantai Uleu Leu yang mengalami kerusakan sangat parah. Namun yang membuatku sangat takjub adalah dari sekian banyak bangunan di Uleu-leu yang tersisa adalah Masjid Uleu-Leu yang masih kokoh berdiri dengan hanya mengalami kerusakan kecil. Saat kami mampir ke masjid itu, renovasi baru dilakukan. Kami pun menyempatkan sholat di Masjid yang menjadi saksi bisu dahsyatnya tsunami tgl 26 Desember 2004 itu.

Di pantai Uleu-leu kami menyaksikan bekas perkampungan yang hanya meninggalkan pondasi ataupun bagian wc yang tersisa. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi saat tsunami terjadi disini. Kami juga menyempatkan melihat pembibitan bakau yang ada di pinggir pantai. Ketika kami sedang melihat bibit2 bakau itu, tiba2 ada seorang pria yang mendekati kami dan menawarkan bakaunya. Mungkin dikiranya kami dari pihak LSM yang siap memborong bakau2nya buat rehabilitasi pantai.

Dari Uleu-Leu kami melanjutkan perjalanan menuju ke daerah sekitar TVRI Aceh bermaksud menemui rombongan peneliti dari Fakultas Geografi UGM dan peneliti Perancis dengan maksud selama kami di Aceh, kami ingin menumpang menginap di kontrakan mereka. Tim Geografi UGM yang dipimpin oleh temannya Mr. C yaitu Pak J*n*n termasuk anggotanya yaitu mas Rino yang notabene putra salah satu dosenku di FKT UGM. Mereka ternyata menempati sebuah rumah kontrakan, dan mereka tidak semuanya tidur di kasur kamar tidur, melainkan tidur dengan beralaskan tikar. Kontan aja Mr. A sebagai dosen seniorku memberi isyarat kepada Mr. C untuk menginap di hotel saja. Setelah mengobrol sekitar setengah jam kami pun meninggalkan camp mereka sambil meminjam peta aerial dampak tsunami yang nantinya kami jadikan acuan buat penentuan lokasi penelitian kami.

Saat itu petang menjelang, kami pun mencari hotel murah di dekat pusat kota Banda Aceh. Kami pun menemukan hotel di kawasan Peunayong Banda Aceh, yaitu Hotel Aceh Barat di jalan Khairil Anwar No. 16. Kami bertiga pun bermalam pertama kali di Aceh dalam satu kamar bertarif 225 ribu per malam yang tentunya itu dengan extra bed buatku tidur di bawah.

Sebelum kami beranjak ke peraduan, kami keluar hotel untuk mencari makan malam. Kami pun mendapatkan tempat makan di lapangan Peunayong yang dikelilingi berbagai penjual makanan dari Mie Aceh, Kerang rebus, Sate Padang, sampai Sate Jawa. Namun yang menarik perhatian kami adalah Jus Terong Belanda yang belum pernah kucoba. kami pun memesan Mie Aceh dan Jus Terong Belanda yang kami nikmati di areal terbuka di pusat kota Banda Aceh yangsangat ramai. Ternyata rasa terong belanda seperti rasa jus mangga dan tentunya menyegarkan. Areal makan ini jangan dibayangkan seperti model lesehan di Jogja melainkan berupa lapangan yang ditengah-tengahnya berjajar banyak sekali meja dan kursi dari plastik yang dikelilingi berbagai penjual masakan yang siap mengantarkan makanan dimana kita duduk. Suasana hiruk pikuk disini seolah menenggelamkan kelabu duka tsunami yang telah melanda Aceh. Kata orang-orang di sini, areal makan ini buka sampai sekitar jam 2 pagi! Wow......ternyata kehidupan malam di Aceh cukup atraktif!



Monday, February 8, 2010

Pasangan Hidup?

Malam ini belum kupejamkan mata yang mulai meredup ini. Masih kutonton acara cari jodoh yang diikuti oleh selebritis Indonesia. Yang mengejutkan si maestro tari Indonesia 'Didik Nini Thowok' pun ikut acara tersebut. Dan akhirnya beliaupun mendapatkan 'Kiki Fatmala' sebagai pasangannya. Terlepas dari sekedar skenario ataupun reality show 'asli', acara ini mendapatkan rating yang cukup tinggi dan cukup menghibur.

Berbicara soal jodoh, disaat usiaku kini yang hampir beranjak ke-26 tahun, belum terpikirkan secara serius bagiku tuk menjalin hubungan dengan seorang wanita. Kalau mau, mungkin saat ini aku tidak jomblo, tapi apa daya hati ini masih pengen sendiri menikmati masa muda dan tidak pengen direngek-rengek seorang perempuan tuk menikahinya secepat mungkin. Itulah alasan yang sering kulontarkan kepada teman-teman yang bertanya kepadaku mengapa masih jomblo. Mereka pun berkilah, 'mbok ya kamu pacaran dulu aja, biar nggak luntang-lantung sendirian'! Namun aku punya alasan tersendiri buat itu. Aku termasuk bukan tipe pria yang suka gonta-ganti cewek dan menyakiti hati mereka yang rapuh. Cukup sekali aku menyakiti hati seorang perempuan yang kuanggap tulus mencintaiku tapi tlah kusia-siakan karena keegoisan dan jiwa mudaku yang tidak ingin terikat akan komitmen!

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah orang tuamu tidak menghendaki kamu lekas nikah?
Dalam keluargaku aku dibesarkan oleh orang tua yang dua-duanya bekerja dan menurutku beliau demokratis. Kakakku sendiri yang selisih hampir 2 tahun denganku belum menikah, dan orang tuaku tidak pernah menuntutnya untuk segera menikah. Kami sebagai anak laki-laki ditegaskan untuk membangun karir terlebih dahulu. Namun ibuku pernah memberikan isyarat kalau sebaiknya menikah saat usia 27 tahun seperti usia ketika Bapak menikahi Ibu 29 tahun yang lalu.

Kalau Bapakku sering bercanda kalau di desa banyak yang menginginkan Kami berdua sebagai menantu mereka. Dan jelas mereka orang-orang terpandang di desaku. Tapi barusan Bapakku menegaskan kalau aku lebih baik berkonsentrasi dengan rencana meneruskan pendidikan S-3 ku di Luar Negeri, baru prioritas yang kedua menikah.

Terlepas dari semua tulisan di atas, aku masih menikmati kesendirianku. Aku pun dalam waktu dekat ini belum ada keberanian mental untuk menikah, walaupun dalam hati kecil ini sudah merindukan akan belaian seorang wanita yang menyayangiku apa adanya.