Sunday, June 23, 2013

Listrik Pintar PLN Prabayar

Kwh meter di rumahku (dok. pribadi)
Mau Tak Mau aku menjadi pelanggan listrik prabayar sejak pertengahan tahun 2012. Banyak suara sumbang di luar mengenai keburukan listrik prabayar. Kata mereka lebih mahal lah biaya perbulannya, nggak praktis lah, repot kalau tengah malam kehabisan pulsa dan mati mendadak, dan segudang cerita nyinyir lainnya.

Pertama kali aku mengetahui ada listrik prabayar sekitar tahun 2010 saat aku ke Bank Mandiri di Gedung Kantor PLN Pusat Jakarta Selatan. Saat itu ada promosi dan pendaftaran listrik prabayar. Aku belum bisa membayangkan bagaimana ya proses kerja listrik prabayar itu, setahuku selama ini kan setiap bulan ada petugas PLN mencatat meteran listrik di rumah dan kita mendapatkan tagihan setiap bulannya yang  di dalamnya terdapat rincian biaya ada abonemen, pajak penerangan jalan (PPJ), dan jumlah KWH yang kita gunakan beserta besaran biayanya per bulan.

Aku baru tahu bagaimana listrik prabayar itu ya saat aku mulai pindah rumah. Ternyata setiap pemasangan baru instalasi listrik di perumahan, saat ini PLN mewajibkan dengan hanya memasang instalasi listrik prabayar. KWH meter-nya pun berbeda dengan listrik pasca bayar. Ada tombol-tombol semacam tombol di handphone untuk memasukkan pulsa listrik prabayar. Jadi memang mirip sistem pulsa prabayar telepon seluler, bedanya nomor token (20 digit) yang dimasukkan ke KWH meter listrik prabayar hanya bisa digunakan untuk satu KWH meter pengguna sesuai dengan nomor ID KWH meter tersebut. Jadi tidak ada istilahnya pencurian pulsa listrik.

Yang lebih keren lagi tidak ada masa kadaluwarsa untuk pulsa listrik prabayar. Listrik prabayar juga tidak ada abonemen perbulan, cuma ditambah PPJ saja. Rumah dengan listrik prabayar juga tidak ada kemungkinan diputus instalasi listriknya, tidak seperti pelanggan pascabayar yang ada kemungkinan diputus aliran listriknya karena menunggak tagihan, karena jika pulsanya habis yang listrik akan otomatis mati, dan cuma itu konsekuensinya bagi pelanggan.

Memang listrik prabayar dirancang oleh PLN untuk mengurangi bahkan menghilangkan (nantinya) tunggakan pembayaran yang sering dilakukan oleh oknum masyarakat, ataupun tidakan pencurian listrik dengan menaikkan daya listrik secara ilegal. Potensi negatif itulah yang tidak dimungkinkan terjadi sistem listrik prabayar, atau paling tidak lebih mempersulit masyarakat untuk berbuat curang. Yang pada akhirnya akan membuat keuangan PLN semakin membaik.

"Mas, rumahmu pakai listrik prabayar ya?", tanya seorang temanku

"iya, emang kenapa?"

"Wah, nggak enak tuh pakai prabayar, kalau mati listrik tengah malam repot cari penjual pulsanya!", tegasnya.

"Nggak masalah lah, kan aku bisa beli pulsanya langsung dari internet banking, toh nggak harus ke ATM atau ke counter pulsa, masih bisa kulakukan lewat HP!', jawabku enteng.

Menurutku listrik prabayar lebih murah daripada listrik pascabayar karena tidak ada biaya abonemennya. Jadi salah jika orang-orang masih berpikiran prabayar lebih mahal. Aku selama ini membeli pulsa listrik prabayar hanya melalui internet banking. Pada awalnya aku membelinya melalui internet banking Bank Mandiri, ternyata ada biaya tambahan administrasi sebesar Rp3.500,- per transaksi sama untuk berapapun nominal pulsa yang dibeli. Nah baru akhir-akhir ini aku beralih menggunakan internet banking CIMB Niaga yang bebas biaya administrasi. Lumayan ngirit 3500 perak, ha ha.....

Tadi pagi aku membeli lagi voucher pulsa listrik prabayar nominal 100ribu melalui internet banking CIMB Niaga (Cimbclicks). Ternyata pada rinciannya tertera jumlah Kwh yang kudapatkan sebesar 110,5. Adapula biaya PPJ sebesar Rp2.913,- dan RP Token 97.087,-. Iseng kuhitung berapa sih harga per KWH-nya? Kupakai hitungan 97087 dibagi 110,5 jadinya Rp878,6/Kwh. Berarti memang benar harganya sesuai dengan kenaikan harga listrik tahap kedua tahun 2013 ini yang untuk Daya 1300 Watt menjadi Rp879/Kwh.

Ayo jangan ragu memakai Listrik Prabayar!





Saturday, June 22, 2013

Galau Mencari Kos di Jakarta

Akhir-akhir ini temanku sedang galau cari kos-kosan di Jakarta, tepatnya di kawasan Kalibata. Maklum sejak lulus kuliah dia ditempatkan di sebuah kota kecil di Jawa Timur. Baru beberapa minggu ini dia mendapat SK untuk mutasi ke Jakarta.

Di Probolinggo kota tempatnya bertugas yang akan segera ditinggalkannya, dia kos hanya sekitar 300 ribu rupiah/bulan. Betapa murahnya jika dibandingkan dengan sewa apartemen di kawasan Kalibata yang tepat di depan kantornya yang dibanderol 1,25jt/bulan. Memang relatif murah untuk tarif apartemen di Jakarta, namun itu KOSONGAN! Bisa dibayangkan ruangan kosong mlompong, tanpa AC pula, dan parahnya itu sudah harga 'teman' yang minimal harus deal untuk sewa selama satu tahun ke depan.

Nah, karena itulah dia meminta pendapatku, apakah 'worth it' harga sewa apartemen di Jakarta dengan kondisi seperti itu. Aku yang pernah mencoba berbagai kos di Jakarta, menyimpulkan kalau harga segitu tidak worth it sama sekali. Mengapa kusimpulkan demikian?

Aku pernah indekos di Gang Kelinci Belakang Pasar Baru Jakarta Pusat. Saat mengetahui pertama kali bahwa aku ditempatkan di Jakarta, hal pertama kali yang kulakukan adalah mencari kos-kosan. Karena aku orangnya suka nggak enakan, maka kuputuskan untuk tidak minta tolong temanku di Jakarta untuk mencarikan kos-kosan. Lantas apa yang kulakukan? Jelas Googling jalan pintas yang kutempuh. Kutemukan kos-kosan bertarif 1,25jt/bulan. Walaupun angka itu relatif besar dan mencengangkan bagiku saat itu karena tarif sebesar itu bisa untuk kos setahun di Jogja, aku tetap memilihnya karena dekat dengan kantorku di kawasan Lapangan Banteng. Namun yang kurasakan saat itu, harga segitu menurutku worth it banget dengan fasilitas yang diberikan. Jelas ada AC-nya, TV, lemari, meja belajar, springbed ukuran (100x200), kamar mandi dalam lengkap dengan wastafel, closet duduk, shower dengan pilihan air panas dan dingin. Semua furniture, springbed, dan perlengkapan di kamar mandi berkualitas tinggi setara hotel berbintang. Adapula jatah laundry per hari. Plus kondisi kamar yang kuhuni saat itu ternyata benar-benar baru! Ada plusnya lagi, di setiap lorong ada CCTV. Untuk masuk kos pun memakai finger print untuk mencegah orang asing keluar masuk seenaknya. Ditambah lagi para pembantunya yang ramah dan grapyak, dapur bersama yang lengkap peralatannya masaknya dan tidak perlu beli gas, serta pemandangan monas dan gedung-gedung pencakar langit di sekitarnya dari lantai 5. Sungguh sesuai dengan harganya, capek karena jalan kaki yang lumayan jauh ke lapangan Banteng terobati saat masuk ke kamar kos yang nyaman. Keesokan harinya badan serasa segar kembali karena tidur nyenyak dan nyaman.

Kosku kedua di Jakarta ada di kawasan Kebayoran Baru Jakarta Selatan, tepatnya di Jalan (gang lebih tepatnya) Ciawi. Walaupun tidak sekeren kosku pertama, namun fasilitasnya relatif lengkap, dengan tarif sewa 1,2jt/bulan. Kamarnya juga lebih luas ukuran (4x3)m. Internet gratis kecepatan tinggi yang bisa men-streaming youtube tanpa buffering pun tersedia. Yang pasti ada AC-nya juga.

Kosku ketiga dan terlama di Jakarta ada di kawasan Kelurahan Sukabumi Utara, Kebon Jeruk Jakarta Barat. Kos bertarif 700ribu per bulan itu sudah dilengkapi kamar mandi dalam dan AC, meja belajar, lemari pakaian, springbed (namun sudah rusak dan lusuh saat aku masuk). Namun, aku lebih dari 3 tahun kos di situ karena relatif murah dan Bapak Ibu Kosnya yang baik hati dan ramah.

Melihat ketiga kos-kosanku di Jakarta itu, mendengar harga sewa apartemen kosongan yang dikasih tahu temenku segitu, jelas saja aku tidak merekomendasikan untuk mengambilnya. Mending cari kosan yang agak mahalan di sekitar situ daripada masih harus direpotkan dengan mengisi perabot apartemen, toh hanya sewa bukan milik sendiri. Belum lagi harus membayar service charge yange meliputi biaya kebersihan, keamanan, lift, sampai kolam renang yang nilainya bisa ratusan ribu rupiah plus tarif listrik per bulannya. Perlu di skip lah intinya!

Untuk kos di Jakarta pertama kali menurutku perlu mencari kos yang nyaman dengan aksesibilitas yang mudah meskipun lebih mahal. Mengapa kusarankan demikian? Karena jika sejak awal kita menginjak tanah Jakarta dan mendapatkan suasana yang tidak nyaman apalagi tempat tinggal yang sumpek, panas, nggak bisa bikin tidur nyenyak, jadilah pola pikir kita tentang tinggal dan bekerja di Jakarta pasti akan menjadi negatif. Berbeda halnya jika kita mendapatkan suasana yang nyaman untuk tempat tinggal, pasti psikologis kita akan menstimulus rasa betah tinggal di Jakarta, dan kita pasti akan lebih cepat beradaptasi dengan kerasnya lingkungan Jakarta. Nah, seiring dengan mulai beradaptasi dengan lingkungan Jakarta, jika kita keberatan dengan tarif kos yang nyaman itu, kita bisa mencari kos yang lebih murah namun tanpa mendowngrade kenyamanan yang kita inginkan secara signifikan. Biasanya hal ini bisa kita peroleh dengan aktif searching kos baru yang terkadang agak jauh dari tempat kerja dan perlu ditempuh dengan kendaraan bermotor. Hal ini yang kualami dulu. Satu dua bulan di Jakarta aku sengaja mencari kos yang relatif dekat dengan kantor dan dapat dijangkau dengan hanya berjalan kaki dengan konsekuensi tarif yang lebih mahal. Seiring sudah mulai mengenal jalanan Jakarta, kuputuskan mencari kos yang agak jauh dari kantor namun masih mudah dan cepat ditempuh dengan sepeda motor.

Setelah 3,5 tahun indekos di Jakarta, pertengahan tahun 2012 aku pindah di rumah baruku di kawasan Tangerang Selatan. Eh, baru menikmati rumah baru dengan kasur empuk, kamar yang dingin, dan taman yang mulai menghijau, serta asik mengisi perabot baru, malah keluar SK mutasi untuk pindah tugas ke Balikpapan. Maka cerita pengalamanku nge-kos berlanjut ke Kota Balikpapan......

Untung Ada Whatsapp

Screenshot aplikasi WA di appstore (dok. pribadi)
Jauh sebelum kenal whatsapp, saat sedang mocer-moncernya smartphone nokia di pertengahan dekade 2000-an, aku menggunakan nimbuzz, ebuddy, ataupun im+ buat sekedar chatting YM ataupun Gtalk. Di era itu BBM-nya si 'Berry Hitam' belum ada, jadi untuk bisa berchating ria di smartphone kita harus mengunduh ebuddy dkk. 

Akhir dekade 2000-an BBM mulai merajalela di Indonesia. Dengan semakin murahnya handset Blackberry dan berbagai macam pilihan paket Blackberry internet service, tak ayal membuat BBM semakin moncer. Di tengah kedigdayaan BBM sebagai platform chatting yang membuat candu bagi anak muda Indonesia sampai dengan para birokrat, munculah platform chating alternatif yaitu Whatsapp.

Whatsapp semula ditujukan bagi pengguna iphone, namun sekarang sudah tersedia di platform lain seperti android, symbian, blackberry, dan windows phone. Di App store apple, aplikasi ini dibanderol sebesar US$ 0,99 atau sekitar Rp10.000,-. Namun, untungnya dulu saat ada promo download gratis di app store, aku segera mendownloadnya, he he......

Semula aku nggak ngeh, apa sih whatsapp itu. aku pikir semacam aplikasi chating biasa kayak ebuddy cs., ternyata bukan! Whatsapp sering dijuluki BBM killer, karena fiturnya yang mirip hanya saja jika BBM hanya bisa digunakan antar sesama BB user, sedangkan whatsapp bisa lintas platform OS. Beda dengan BB yang menggunakan PIN untuk identitas penggunanya, whatsapp menggunakan nomor telepon sebagai basis identitas penggunanya. Whatsapp akan otomatis mengenali nomor telepon di handphone kita yang sama-sama menggunakan whatsapp. Jadi kita tidak perlu meng-add semacam YM, Gtalk, ataupun Skype, melainkan whatsapp sudah otomatis melakukannya terhadap contact di HP kita.

Simpel dan Praktis, itulah whatsapp. Tak heran jika sampai saat ini Whatsapp mengklaim telah mempunyai lebih dari 250juta pengguna aktif. Wow! Fitur-fiturnya cukup lengkap mulai dari  berbagi text, video, audio/suara, nomor telpon, sampai lokasi kita berada. Nah fitur-fitur inilah yang membuat komunikasiku dengan istri dan anakku semakin terasa dekat.

Mulai sejak sebelum nikah, aku yang menggunakan iphone dan istriku yang menggunakan nokia E71 sering berbagi foto, suara/ucapan, atau sekedar say hello berupa text, semuanya melalui whatsapp. Kami tidak perlu susah-susah attachment email, ataupun bermahal-mahal mengirim MMS, cukup dengan whatsapp semua teratasi dengan praktis dan murah. Apalagi saat ini setelah menikah dan mempunyai putra, kami semakin intens berkomunikasi melalui whatsapp. Fitur Video Sharing dari whatsapp lah yang sangat membantuku mengobati rasa kangen terhadap putraku. Perkembangannya dari lahir sampai dengan saat ini menjelang satu tahun usianya bisa kulihat melalui video yang dikirim oleh istriku. Bagaimana melihat putra kami mulai bicara, senyum, tertawa, mulai tengkurap, sampai jatuh bangun belajar berjalan membuatku sungguh bahagia, meski aku hanya rata-rata sebulan sekali bertemu dengannya. Setiap hari aku dikirimi video oleh istriku, kemudian video itu kuteruskan ke Ibuku di Pati melalui email. Jadilah, setiap hari yang sering menanyakan video putra kami ya kakek neneknya di Pati. "Piye Manggala, wis iso opo meneh, endi videone sing anyar?". Itulah pertanyaan sehari-hari yang ditanyakan kakek neneknya manggala di Pati jika menelponku. Jadilah kuteror istriku setiap hari untuk mengirim video terbaru Manggala, ha ha..... 

Ada peristiwa yang terlupakan olehku saat proses kelahiran Manggala. Saat itu aku baru saja landing di Juanda Surabaya, dan tidak sempat melihat langsung proses kelahiran Manggala di RSUD Tulungagung. Untungnya, tantenya Manggala yang menemani istriku menjalani proses persalinan selalu mengupdate berita terbaru mengenai istriku baik melalui foto maupun tulisan. Saat Manggala lahir, menangis, dan masih ada tali pusarnya di fotolah oleh tantenya dan dikirimkan melalui Whatsapp kepadaku. Sungguh bahagia dan terharunya saat itu, melihat putra mungilku yang sehat lahir ke dunia.

Whatsapp bukannya tidak punya pesaing. Banyak aplikasi baru yang menawarkan fitur serupa seperti Line, Kakao Talk, WeChat, dsb. Namun, setelah kucoba aplikasi-aplikasi itu, ternyata tidak sesimpel, sepraktis, dan se-real time Whatsapp. Jadilah aku tetap setia dengan Whatsapp sampai saat ini. Terima Kasih Whatsapp, engkau telah mendekatkan keluarga kami!

Monday, June 17, 2013

Majalah Intisari Kembali ke Genggamanku


Intisari Edisi Juni 2013 (dok. pribadi)
Intisari memang bikin ngangenin. Majalah kecil seukuran buku agenda yang usianya jauh lebih tua dariku. Hampir 50 tahun! Jarang-jarang ada majalah yang tetap eksis sampai hampir setengah abad. Perayaan 50 tahun Intisari akan jatuh pada tanggal 17 Agustus 2013, bertepatan peringatan 68 tahun Indonesia merdeka.

Intisari yang diterbitkan oleh Kompas Gramedia Group bahkan lebih tua umurnya daripada harian terbesar di Indonesia, KOMPAS!

Bentuknya yang kompak sehingga mudah dibawa kemana-mana plus isinya yang ringan, berkualitas dan tidak membosankan, pantas jika majalah kecil ini dinamakan INTISARI. Dalam era digital ini, dimana koran-koran dan majalah berlomba membuat versi online, intisari tetap konsisten dengan format majalah kecilnya, meskipun intisari sendiri mempunyai website, namun keberadaannya kuanggap hanya sebagai promosi/daya tarik agar pembaca yang tertarik dengan artikel online-nya bisa membaca versi lengkap dan detailnya di versi cetaknya.

Sebenarnya aku sudah cukup lama tidak rutin membeli majalah intisari karena harganya yang dulu sempat mencapai 25 ribuan di pertengahan tahun 2000-an, karena waktu itu aku termasuk costumer tipe price sensitive yang sangat keberatan jika harga majalah intisari naik signifikan, padahal saat itu aku belum punya pendapatan sendiri, melainkan masih 'nodong' orang tua.

Kemarin hari minggu saat aku mau kembali ke Balikpapan melalui Bandara Juanda Surabaya, tiba-tiba terbesit di benakku untuk membeli majalah intisari buat membunuh waktu luang saat menunggu boarding ataupun saat suntuk berada dalam pesawat. Bentuknya yang mungil membuatku cukup nyaman mententeng dan membacanya di kabin pesawat.

Rubrik dan ulasan di Intisari termasuk lengkap. Banyak hal-hal yang dekat dengan kita luput dari pengamatan, namun intisari menyajikan hal-hal yang sering kita abaikan dengan detail yang bagus dengan gaya bahasa yang menarik dan simpel.

Aku membeli Intisari di kios koran dan majalah eceran di dekat gerai ATM Bandara Juanda seharga 22 ribu. Padahal harga yang tertera di majalah cuma 20rb untuk Pulau Jawa dan 21rb untuk Luar Jawa. Namun tak menjadi soal, aku juga memaklumi karena mereka harus membayar sewa tempat berjualan yang tidak sedikit kepada pihak Angkasa Pura I selaku pengelola Bandara Juanda Surabaya.

Sambil beristirahat di Blue Sky Lounge, kubaca sekilas artikel-artikel yang ada di dalamnya. Ternyata isinya menarik-menarik dan membuatku tak sabar untuk segera melahapnya. Saat di pesawat, tibalah waktu untuk membaca penuh artikel-artikel di dalam Intisari. Waktu 1 jam 10 menit yang merupakan standar lama penerbangan Jurusan Surabaya-Balikpapan yang biasanya sangat membosankan karena susah tidur ataupun mati gaya, saat penerbangan kemarin kumerasakan hal yang berbeda jauh.

Aku merasakan enjoy saat penerbangan dan waktu terasa cepat berlalu. Namun keasikanku membaca sempat terganggu dengan cuaca yang kala itu kurang bersahabat sehingga goncangan di pesawat terasa kencang. guncangan itu berlangsung kurang lebih sekitar 30 menit dan ternyata saat kutengok jam tanganku, seharusnya pesawat sudah mendarat namun belum juga ada tanda-tanda mendarat. Aku semakin gelisah dan berpikir yang tidak-tidak tentang risiko terburuk. Otomatis dalam suasana seperti itu aku tidak bisa konsentrasi untuk membaca meski bacaan ringan sekalipun.

Intisari dikenal sebagai majalah pengetahuan populer yang simpel namun tetap mengedepankan kualitas. Banyak penggemar setianya yang telah menjadi saksi perjalanan naik turunnya pamor Intisari. Intisari semoga semakin lebih berkualitas dan menarik dari bulan ke bulan selanjutnya.

Taksi Blue Bird vs Taksi Express

2 nama ini sudah tidak asing lagi di telinga kita. Armada kedua taksi ini menguasai porsi terbesar moda transportasi darat menengah ke atas di Jakarta. Blue Bird dengan warna biru khasnya, sedangkan Express dengan warna putihnya. Taksi Express dikenal menerapkan tarif bawah yang tentunya ongkosnya lebih murah daripada Blue Bird.

Berdasarkan pengalamanku, kedua taksi ini mempunyai nilai plus dan minus yang khas yang tentunya akan menjadi preferensi bagi penggemarnya. Sejauh pengamatanku, armada Blue Bird masih menjadi yang terbanyak di Jakarta. Bagiku jika memesan taksi paling memuaskan pelayanannya adalah Blue Bird. Pernah Sekitar Bulan Maret 2012, saat aku akan ke Bandara Soetta untuk penerbangan ke Bima sekitar pukul  6 pagi, malam hari sebelumnya aku memesan taksi Taksi Express untuk berangkat pukul 4 pagi. Pada pukul 3 aku ditelpon pihak taksi express menginformasikan bahwa taksi yang kupesan masih dicarikan. aku pun menunggunya. Setengah jam setelahnya, aku ditelpon lagi, kalau taksinya masih belum dapat, dan mereka menawariku untuk ditunggu atau dibatalkan saja pesanannya. Aku pun membatalkan pesanan, dan saat itu aku kecewa sekali dengan pihak taksi express. Hatiku tidak tenang dan kemrungsung saat itu, karena belum dapat taksi juga. Aku pun menelpon taksi Transcab, yang otomatis tahu kalau yang menelpon itu aku karena aku sudah pernah memesan taksi transcab sebelumnya sehingga database-ku sudah masuk di sistemnya. 15 menit kutunggu ternyata pihak transcab belum berhasil mencarikan taksi untukku, kontan aja kubatalkan saat itu juga. Perasaanku campur aduk saat itu, mau marah, emosi, takut ketinggalan pesawat dan sebagainya berkecamuk. Kemudian sambil mandi, aku mencoba menghubungi taksi Blue Bird. Pihak Blue Bird mencoba untuk mencarikan taksi untukku. Ternyata Blue Bird memang memberikan excellent service dengan langsung mengirimkan taksinya untukku, padahal aku memesan untuk saat itu juga. Akhirnya aku bisa lega berangkat ke Bandara. Ono rego ono rupo itulah istilah dalam Bahasa Jawa yang kira-kira artinya, Ada Harga Ada Bentuknya, maksudnya harga tidak pernah bohong. Blue Bird yang mematok tarif taksinya lebih tinggi daripada taksi lainnya memang untuk memberikan pelayanan yang prima dan lebih unggul dari pesaingnya.

Hal yang sama terjadi lagi kemarin hari sabtu saat aku memesan taksi express untuk Ibuku. Taksi Express tidak berhasil mencarikan taksi pesananku. Sejam sebelum deadline pesanan, seperti biasa aku ditelpon oleh taksi express menginformasikan kalau taksinya masih dicarikan, dan mereka menanyakan apakah aku masih mau menunggunya. AKu pun menjawab tetap menunggunya, namun saat itu perasaanku sudah tidak enak. 15 menit kemudian aku ditelpon lagi dan ternyata masih hal yang sama yang diinformasikan kepadaku, jika taksinya belum dapat. aku pun menunggunya lagi. 20 menit kemudian aku ditelpon lagi dan taksinya belum dapat juga, dan aku pun langsung membatalkannya. Keputusanku saat itu, aku harus segera telpon Blue Bird, ternyata  15 menit kemudian taksi pesananku sudah datang di rumah, dan Ibuku sudah bisa langsung pergi ke Bandara.

Ongkos taksi dari rumahku ke Bandara yang sekitar 30 km dengan taksi express sekitar 80 ribu, sedangkan dengan taksi Blue Bird bisa mencapai lebih dari 100 ribu. Disparitas harga inilah yang selama ini menjadi magnet orang yang berkantong pas-pasan untuk memesan taksi express dibandingkan dengan Blue Bird. Namun, aku tetap memilih Blue Bird jika diburu waktu. Aku hanya memesan taksi express sekiranya aku tidak terburu-buru ke tujuan.

Sistem database Express taksi sepertinya lebih bagus daripada Blue Bird. Jika aku memesan dengan nomor telepon yang sudah biasa kugunakan untuk menelpon Taksi Express, piha customer service taksi express sudah langsung tahu identitas kita. Lain halnya dengan Blue Bird, yang baru tahu identitas kita jika kita menginformasikan terlebih dahulu nomor telepon kita. Namun dalam aplikasi mobile, Blue Bird selangkah lebih maju daripada taksi express. Sudah ada khusus aplikasi untuk iPhone guna pemesanan, sehingga lebih mudah dan praktis, tidak perlu telepon lagi.

Pernah suatu hari di pertengahan Januari 2013, aku pesan taksi blue bird untuk jam setengah 4 pagi, namun yang datang ada 2 taksi jadinya mereka bertengkar beradu argumentasi di depan gerbang perumahanku, dan langsung kutelpon pihak Blue Bird taksinya untuk memberi keputusan taksi mana yang berhak atas pesananku saat itu. Aneh-aneh aja, aku tidak bisa membayangkan dongkolnya perasaan si sopir blue bird yang tidak berhak atas pesananku padahal yang salah adalah pihak Blue Bird cuctomer service-nya yang memberikan order ganda, eh yang kena getahnya malah sopirnya yang sudah capek-capek bersusah payah pagi buta menuju perumahanku.

Mengenai upah yang didapat sopirnya lain lagi ceritanya. Saat aku berbincang-bincang dengan sopir taksi Blue Bird ataupun Express, aku sering menanyakan gaji atau upah yang mereka peroleh. Ternyata ada perbedaan mencolok dari keduanya. Sopir Blue Bird ternyata mendapat gaji bulanan ditambah komisi dari pendapatan lebih per hari, sedangkan untuk Taksi Express harus kerja ekstra keras untuk menutup setoran per hari yang ditentukan perusahaan. Jika mendapatkan lebih dari setoran yang ditentukan, maka hasilnya akan banyak, namun kalau tidak bisa memenuhi setoran ya akhirnya nombok. Berbeda dengan sopir Blue Bird yang tak perlu ngoyo mencari penumpang, karena mereka sudah dapat gaji bulanan meskipun tergolong kecil, namun jika pengen lebih daripada sekedar gaji bulanan ya mereka harus mendapatkan uang taksi diatas rata-rata. Kesimpulannya walaupun sistem penggajiannya berbeda, namun untuk tetap memperoleh upah di atas rata-rrata ya sama-sama harus bekerja lebih keras.

Baca juga:

Pengalaman Naik Taksi Transcab

Nomor Telepon Transcab Terbaru

Sunday, June 9, 2013

Token Fisik vs Token Virtual

BCA Key dan Token Mandiri-ku (dok. pribadi)

Token, kata ini sungguh asing di telingaku satu dekade yang lalu. Pertama kali aku melihat token kalau tidak salah di koran yang mengiklankan fasilitas internet banking BCA. Warna biru, sebesar kalkulator mini yang mempunyai tombol-tombol angka 0 s.d. 9, dan tombol enter ataupun tombol berwarna merah yang multifungsi.

Beberapa tahun aku melihat token itu hanya di koran dan iklan di TV yang menayangkan eksekutif muda dengan menekan-nekan tombol token untuk bertransaksi dan terlihat begitu elegan dan berkelas. Aku jadi berangan-angan "kapan ya aku bisa seperti eksekutif muda itu?". Aku penasaran bagaimana sih cara kerja si token itu, apa ada semacam simcard seperti HP, atau bagaimana ya? Rasa penasaran itu akhirnya terjawab pada tahun 2009, saat untuk pertama kalinya aku mempunyai token.

Token alat pengacak PIN yang digunakan untuk otentifikasi transaksi melalui internet banking sekarang ini sudah menjadi hal yang awam di masyarakat. Seiring semakin banyaknya perbankan nasional yang menggelar layanan internet bankingnya, maka lambat laun token mulai dikenal masyarakat.

Pada awalnya token berupa sebuah alat kecil kalkulator. Token seperti ini bisa kita sebut sebagai token fisik. Untuk mendapatkan token jenis ini biasanya kita mendaftar dulu melalui ATM dan mengambilnya di kantor cabang Bank yang bersangkutan. Token yang semula identik dengan warna biru, sekarang warnanya macam-macam ada yang ungu, merah muda, bahkan transparan seperti yang diterbitkan oleh Bank Mandiri. BCA tetap konsisten dengan token berwarna birunya yang disebut Key BCA. Namun token BCA ini sekarang bentuknya persegi panjang pipih tidak seperti model terdahulunya yang berbentuk lengkung seperti kebanyakan token yang diterbitkan bank lain. BNI mengeluarkan token berwarna oranye yang mencolok. Aku mempunyai ketiga token ini, namun token BNI-ku sudah tidak pernah kupakai lagi sejak kututup rekening BNI-ku lebih dari setahun yang lalu.

Selain memakai fasilitas internet banking dari Bank Mandiri dan BCA, aku juga menggunakan fasilitas internet banking dari BRI dan CIMB Niaga. Berbeda dengan Mandiri, BNI, ataupun BCA yang mempunyai token fisik, BRI dan CIMB Niaga menggunakan token virtual yang dikirimkan melalui sms ke HP user saat akan melakukan otorisasi transaksinya melalui internet banking. Kelebihan token virtual ini adalah kepraktisannya. Kita tidak perlu mengambil/membeli token fisik di bank melainkan hanya perlu meregistrasi nomor HP kita yang bisa dilakukan melalui ATM. Kemungkinan kita lupa membawa token saat berpergian juga akan semakin kecil karena kita lebih sering ingat membawa HP daripada benda kecil semacam token yang seringkali terlewat dari list bawaan kita saat mobile. Cara memakainya pun jauh lebih praktis dibandingkan token fisik. Jika dengan token fisik kita perlu memasukkan rangkaian prosedur yang menurut sebagian orang cukup ribet, karena jika beda jenis transaksi, kemungkinan pengoperasiannya juga beda. Sedangkan token virtual yang berupa kombinasi angka yang dikirim lewat sms tinggal mengetikkannya ke layar komputer dan langsung klik sudah otomatis terotorisasi.

Meskipun mempunyai beberapa kelemahan, token fisik juga mempunyai banyak kelebihan. Dengan sistem yang unik yang hanya mengenali satu user per token, token fisik memberikan angka kombinasi sekali pakai yang relatif aman dan kecil risikonya. Kalaupun token kita berpindah tangan, kalau si pencuri token kita tidak tahu password token tetap tidak bisa menggunakannya. Berbeda jika HP kita yang hilang dan kita belum sempat memblokir nomornya, dan orang yang mencuri menggunakannya untuk internet banking, maka jika si pencuri tahu username dan password internet banking kita, dia akan dengan mudah untuk meminta sistem mengirimkan token virtual berupa sms ke nomor HP kita yang hilang tadi.

Namun, secara sistem keamanannya baik token fisik dan virtual sudah sangat bagus, tinggal bagaimana cara kita mematuhi prosedur yang telah ditetapkan bank untuk mencegah pembobolan rekening kita.

So, nggak perlu takut melakukan aktivitas internet banking. Asal kita tahu prosedurnya dan tidak teledordalam merahasiakan username dan password, maka internet banking akan sangat membantu kita terutama lebih efisien dalam hal waktu, tenaga, dan biaya.

Thursday, June 6, 2013

Jejaring Sosial Menggairahkan Pariwisata Global

Screenshot Homepage Instagram (dok. pribadi)

Apa sih hubungan jejaring sosial dengan rantai ekonomi global yang semakin kompleks seperti saat ini?

Salah satunya adalah sektor pariwisata global yang bernilai ribuan miliar US dollar. Kok bisa?

Jejaring Sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, Path, Pinterest, ataupun Foursquare menyediakan layanan berbagi foto ataupun lokasi. Mulai dari ABG sampai dengan orang tua yang sudah pensiun  (contohnya ibuku) banyak yang keranjingan upload foto di jejaring sosial. Hasrat untuk tetap eksis dan keren menjadi salah satu pemicunya.

Dengan upload foto di jejaring sosial maka semua teman dalam jejaring sosial kita akan tahu kita sedang apa atau dimana. Misalkan kita sedang berlibur ke luar negeri, kita mengabadikan momen dengan berfoto di sesuatu yang ikonik di negeri tersebut biasanya kita punya hasrat untuk segera pamer kepada teman-teman kalau kita sedang di luar negeri dengan menguploadnya melalui jejaring sosial.

Keinginan untuk tetap eksis di kalangan teman sejawat plus tiket penerbangan yang semakin murah ke luar negeri menjadikan kegiatan untuk upload foto di jejaring sosial semakin menggila.

Apalagi sekarang ada aplikasi semacam Instagram yang bisa membuat foto semakin terlihat dramatis. Pemandangan yang biasa saja bisa seolah menjadi spektakuler dengan filter yang disediakan instagram. Pantas saja aplikasi yang semula eksklusif untuk pengguna iPhone ini dibeli mahal oleh Facebook sekitar 1 milyar US dollar, karena kepopulerannya diranah foto sharing.

Adanya aplikasi berbasis lokasi yaitu Foursquare juga mendorong penggunanya untuk 'check in' dimana mereka sedang berada sekaligus bisa upload foto juga dan sharing ke twitter ataupun tumblr. Para pengguna foursquare cenderung lebih bersemangat check in jika sedang di tempat wisata atau tempat yang populer. Dengan check in maka teman kita pasti akan tahu dimana kita berada. Apalagi kalau sedang berwisata di luar negeri atau tempat-tempat eksotik di dalam negeri semacam Wakatobi, Raja Ampat, Bunaken ataupun Komodo, pasti akan membuat semakin bangga dan secara naluriah ingin pamer kepada temannya' "Nih Gue sudah sampai ke tempat ini nih....!"

Keberadaan aplikasi jejaring sosial terutama yang berbasis foto sharing ataupun location sharing membuat semakin mudah budaya 'pamer' merajalela yang notabene merupakan naluri alamiah seorang manusia. Pamer di media sosial sungguh luar biasa efeknya. Pasti timbul kecemburuan ataupun keinginan untuk bersaing "Temen gue sudah melancong ke berbagai negara, masak gue belum, gue juga bisa dan pasti akan lebih eksis daripada dia!".

Pemikiran yang demikian tentunya tidak sepenuhnya salah, malah di sisi lain bisa membuat geliat dunia pariwisata menjadi lebih bergairah daripada dekade-dekade sebelumnya. Secara tidak langsung, dunia pariwisata sangat diuntungkan dengan media sosial berbasis foto yang sedang marak saat ini. Masyarakat terutama kalangan muda yang belum berkeluarga namun sudah punya penghasilan yang lumayan, biasanya akan menyisihkan penghasilannya relatif besar untuk kegiatan turisme.

Teman-teman sekarang jika berwisata lebih sering ke luar negeri walaupun masih di sekitaran Singapore, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan India. Tak lupa pasti mereka langsung update status dan foto di media sosial dan tak ayal mereka menjadi promosi gratis bagi objek-objek wisata di luar negeri. Coba bandingkan dengan 10 tahun yang lalu masih jarang kalangan menengah bawah yang berwisata ke luar negeri, bahkan untuk bermimpi pun tidak berani. Namun sekarang plesiran ke luar negeri malah seringkali lebih murah daripada berkunjung ke Jogja atau Bali. Banyak promo misalkan Air Asia menawarkan tiket cuma 200 ribu rupiah ke Singapore ataupun ke Kuala Lumpur, bahkan memberikan tiket gratis untuk berangkat dan cuma bayar untuk pulangnya saja, semakin membuat orang Indonesia berbondong-bondong kesana, biar dicap "nih gue pernah ke luar negeri".

Dalam hal pariwisata, kita jangan mau kalah dengan Negeri jiran. Sebagai anak muda yang gemar traveling, ayo jelajahi negerimu dulu, upload ke media sosial tempat-tempat eksotik di negeri ini yang kamui kunjungi. Biar virus traveling around Indonesia bergema ke negeri manca dan membuat turis-turis berdatangan ke Indonesia.

Pariwisata sudah terbukti bisa menjadi tulang punggung perekonomian suatu bangsa jika dikelola dengan profesional. Ayo majukan pariwisata Indonesia.

Memilih Kasur Springbed

Mengisi rumah baru dengan berbagai perabot rumah tangga memang suatu hal yang mengasyikkan dan selalu tidak sabar untuk mulai menghuninya. Namun kegiatan 'mengasyikan' itu memang benar bisa terjadi jika keberadaan alat pembayar perabot alias Uang tidak menjadi persoalan utama. Yang sering terjadi adalah sebaliknya. Uang tabungan sudah habis untuk DP, Biaya KPR, dan tetek bengeknya, jadilah bingung pakai apa beli perabotnya?

Bagiku Kartu Dewa solusinya alias Kartu kredit yang bisa dipakai untuk mencicil di toko-toko yang menerima pembayaran secara cicilan. Mungkin banyak orang yang tak sependapat denganku, tapi Nope lah.

Nah perabot utama pengisi rumah salah satunya adalah Kasur. Waktu kecil dulu dalam ingatanku yang namanya kasur ya yang terbuat dari kapuk. Dulu masih jarang orang yang menggunakan kasur busa ataupun springbed. Kesanku dulu yang namanya kasur busa itu panas dan pasti nggak nyaman dipakai.

Ternyata dugaanku tidak sepenuhnya benar. Memang jika kasur busa itu merupakan kasur yang murni terdiri dari busa, tanpa per (spring) ataupun pembungkus latex sangat tidak nyaman, alias panas dan strukturnya cepat berubah dengan kata lain kasurnya melengkung/cekung di bagian tengahnya, tidak rata. Hal tersebut tentunya mengurangi kualitas tidur kita, dan tak jarang jika kasurnya tidak rata/cekung di satu bagian jadinya pas bangun tidur bukannya jadi fresh malah pegal-pegal.

Sekarang stigma masyarakat mengenai kasur sudah berubah. Sekarang sudah jarang di toko-toko menjual kasur dari kapuk. Mayoritas toko kasur memajang kasur mulai dari berbahan busa biasa yang murahan, kombinasi antar spring dan latex, ataupun kasur full latex yang harganya bisa mencapai puluhan juta rupiah.

Springbed mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan kasur kapuk:
1. Kasur kapuk rentan dijadikan sarang oleh semacam tungau / kutu busuk. Sedangkan springbed lebih tahan lembab dan debu sehingga kurang disukai tungau.
2. Springbed, bisa awet belasan tahun, bahkan springbed merek theraspine yang kubeli berani memberikan garansi 20 tahun.
3. Punya berbagai jenis, ada yang soft, medium, ataupun hard. Ada yang bisa untuk terapi tulang belakang ataupun sakit punggung.
4. Penampilan springbed lebih bagus dibandingkan kasur kapuk yang bentuknya mudah berubah seiring berjalannya waktu.

Aku sebenarnya punya pengalaman buruk tidur di springbed yang ada di kosku dulu. Memang springbed-nya terkesan murahan, sudah bisa kutebak paing-paling harganya tidak sampai satu juta. Nah, aku meniduri springbed yang ada di kosnya bekas penghuni sebelumnya. Dilihat secara kasat mata saja, springbed-nya bentuknya sudah melengkung, dan ketika kutiduri sangat terasa tonjolan per-nya dan yang sangat menyakitkan adalah setiap bangun pagi bukan badan segar yang kudapat melainkan pinggang dan punggung yang sakit, leher yang tegang, dan sering terbangun kala malam hari. Aku merasa sangat tersiksa, mending pakai kasur kapuk saja kalau begitu.

Tak mau terulang pengalaman burukku dengan springbed, maka ketika aku memilih kasur harus yang berkualitas. Pilihanku ternyata jatuh dengan merek Theraspine. Kebetulan setahun yang lalu ada promo Home Solution di Kompas yang menawarkan Theraspine Tipe Junio Spine 2 in 1 dengan 2 matras masing-masing berukuran 120x200 seharga 4,5jt. Kasurnya empuknya pas dan masih bagus sampai sekarang.

Tanggal 1 Juni kemarin aku berencana membeli lagi satu kasur yang lebih besar untuk Kamar Utama di Home Solution Teraskota BSD. Pilihanku Jatuh pada Lady Americana yang di koran terpampang harga 7,99jt untuk matras ukuran 160x200. Disana ternyata harganya sudah turun menjadi 7,2jt. Aku sudah tertarik dengan promonya, walaupun masih sedikit mengganjal headboardnya yang coraknya agak jadul dan berwarna hitam kecoklatan tidak seperti warna yang ada di brosunya
dengan headboard yang terkesan elegan. Setelah bertanya-tanya dengan salesnya, ternyata dugaanku salah sama sekali bahwa harga 7,2jt itu hanya matrassnya saja belum termasuk divan dan headboard. Namun, salesnya berjanji memberi potongan lagi 20% sehingga menjadi sekitar 5,4jt. Sedangkan jika sekalian dengan headboard dan divannya tidak kurang dari 10 juta. Melihat harganya yang semakin tinggi, tak jadi kuambil merek Lady Americana. Sang sales pun masih pantang menyerah, dia meyakinkan bahwa cuma hari ini saja promo matras Lady Americana yang tipe Palm Spring dan dipastikan keesokan harinya naik ke harga 7 jutaan. Aku tetap pada budgetku, jika si sales bisa memberikan harga masksimal 8 juta untuk komplet set, akan kuambil. Tapi si sales tidak berani memberikannya.

Nggak jadi beli Lady Americana, kumampir di stan Simmons. Ada Springbed 2 in 1 yang saat itu sedang promo jadi 3 jutaan. Dari awal aku kurang sreg, dan setelah kucoba ternyata per-nya sedikit terasa di badan. Kutepuk-tepuk kasurnya bunyi per menggema samar-samar. Penampakan luarnya juga tidak sekokoh Junio Spine. Tentu saja aku tidak membelinya walaupun salesnya bilang garansi 15 tahun.

Hampir saja kurungkan niat membeli springbed hari itu. Namun sebelum pulang aku nengok stan Theraspine, yang pada hari itu juga sedang promo pameran di lobby utama Mal Teraskota. Sebenarnya untuk merek Theraspine aku hanya mengincar tipe Junio Spine 2 in 1, namun karena harganya sudah naik 2 jutaan dari setahun yang lalu, kuurungkanlah niatku membelinya. Junio Spine sebenarnya dikhususkan untuk anak-anak, namun aku memilihnya karena ukurannya yang pas dengan kamarku yang sempit, serta dapat 2 matras yang bisa digunakan jika banyak keluarga dari luar kota yang mampir menginap. Matras yang digunakan tipe Junio Spine kekuatannya hampir sama yang digunakan pada matras Theraspine tipe lainnya. Jadi menurutku nggak masalah buat orang dewasa. Biasanya springbed 2 in 1 matras yang atas menempel permanen pada divan-nya, namun Junio Spine tetap terpisah jadinya lebih awet dan terlihat kokoh.

Sales Theraspine bernama Imam yang kebetulan jaga saat itu menawariku produk baru dari Theraspine yaitu tipe Virginia. Dia bilang aku hanya perlu beli matrasnya, sedangkan divan dan headboardnya gratis.

"Bonusnya apa?", tanyaku.

"Bapak nanti aku beri 2 bantal dan 2 guling!", serunya dengan penuh semangat.

"Tambah diskonnya dong!", pintaku kembali.

"Ok pak, aku kasih tambahan diskon deh", jawabnya.

"Yang ukuran 140x200 berapa?"

"Kok nanggung sih Pak ukurannya?"

"Soalnya kamarku sempit dan di dalamnya ada lemari besar. Kalau ukuran 160x200 kayak yang di display ini kebesaran!"

"Harganya 7,5 jt Pak, tambah aku kasih diskon jadi 7,125jt", jawabnya sambil itung-itung di kalkulator.

"Ok, nggak bisa turun lagi nih?"

"Waduh Pak, saya nggak punya uang untuk nombokinnya."

Setelah aku menanyakan bonus apalagi yang kudapat. Si Sales memberiku tambahan yaitu matras protector dan sofabed day yang lucu dan imut.

Akhirnya aku luluh juga dengan promo Theraspine yang menarik. Ternyata memang jodoh kasurku dengan merek Theraspine, padahal sudah mau beralih ke merek lain.

Baca juga: Memilih Springbed Berkualitas : Theraspine

Lucunya dari semua itu, springbed empuk, kamar yang dingin, lingkungan yang nyaman dan sejuk belum bisa kunikmati saat ini, karena aku masih bertugas di Balikpapan. Saat ini aku tinggal di kosan dengan kasur busa murahan yang membuat tubuhku pegal-pegal saat bangun dan kipas angin yang kuhidupkan sepanjang siang dan malam jika aku berada di kos, serangan tikus yang siap mengobrak-abrik lemari pakaianku jika lupa kukunci. Namun aku sekarang sudah mulai terbiasa dengan kondisi itu. Dengan begitu aku sedikit bisa merasakan dinamika hidup, dimana kita yang semula sudah berada di zona nyaman, harus berubah dengan segala perbedaan lingkungan yang ada. Hal itu membuat rasa syukur kita senantiasa terjaga.

Tuesday, June 4, 2013

Electronic Solution Pilihanku

Screenshot Homepage Electronic Solution (dok. pribadi)
Mengapa kumemilih Electronic Solution (ES)?

Sejak aku pindah ke rumah baru pertengahan tahun 2012, hampir semua produk elektronikku kubeli dari ES. Mulai dari AC, kulkas, bahkan kompor sekalipun.

Produk pertama yang kubeli adalah AC merek Electrolux. Saat itu aku sedang jalan-jalan ke ES Poins Square di Lebakbulus. Sebenarnya aku tidak bermaksud membeli AC electrolux melainkan yang kuincar adalah AC LG dengan teknologi skin care-nya yang bisa menghembuskan udara bervitamin C (kata iklannya). Namun, saat aku melewati stan Electrolux, saat itu sedang ada diskon yang lumayan besar hampir 40% sehingga menjadi seharga 2,7jt-an yang bisa dicicil selama 6 bulan dengan bunga 0%. Lumayan lah itung-itung menyesuaikan kantongku yang sedang kempes karena terkuras ongkos KPR. Saat itu jujur, keputusanku saat itu cuma didasarkan oleh iming2 diskon besar dan merek besar electrolux yang terkenal dengan mesin cucinya seolah menyihirku untuk percaya akan kualitas merek electrolux, meskipun mereka merupakan pemain baru dalam produk AC dan belum cukup teruji. Sekarang AC electrolux yang kubeli setahun yang lalu masih berfungsi dengan baik walaupun belum pernah diservis, dicuci, ataupun ditambah freon. Pernah sekali kucuci penyaring udara di AC indoor yang baru minggu kemarin kucuci dari debu yang menutupinya.

Untuk pembelian AC di ES harga yang tercantum sudah termasuk biaya pemasangan, bracket, dan pipa AC. Namun aku masih terkena charge Rp20.000 untuk pengiriman di zona I, padahal iklannya di website dan media cetak gratis ongkos kirim. Jika stok AC-nya ada, maka akan dikirim pada waktu yang kita tentukan. Sedangkan untuk waktu pemasangan tidak bisa dalam hari yang sama dengan hari pengiriman melainkan minimum sehari sesudah pengiriman. Pengiriman dan Pemasangan dilakukan oleh tim yang berbeda. Untuk pengiriman dilakukan oleh pihak ES, sedangkan untuk pemasangan dilakukan oleh teknisi resmi dari merek yang kita beli. Oiya, untuk pemasangan AC kita perlu beli sendiri stecker (colokan) dengan ujung tiga, karena biasanya tidak ada dalam paket AC-nya. Kebetulan aku beli yang mereknya Broco karena sudah terkenal bagus kualitasnya dan cocok untuk daya AC yang relatif besar untuk mengurangi risiko leleh atau konsleting.

Produk kedua yang kubeli adalah kulkas. kulkas Panasonic yang sedang promo diiklankan di koran oleh ES, dan setelah kubandingkan harganya dengan di hypermarket, ternyata di ES paling murah. Tidak ingin ambil pusing kubelilah kulkas itu dengan cicilan 6 bulan dengan bunga 0%, dan sekarang tentunya sudah lunas, he he.....

Produk Ketiga adalah kompor gas. Aku membeli kompor gas merek Hitachi, karena ketiadaan tipe merek Rinnai yang
aku cari. Ternyata sekarang kompor gasnya agak susah keluar api otomatisnya, dan harus dinyalakan dengan korek api. Mungkin ada salurannya yang kotor atau baterai apinya yang sudah aus.

Produk keempat yang kubeli adalah AC merek Sharp tipe AH-AP5MHL seharga 3,8jutaan. Kali ini aku membelinya di ES Teraskota BSD, bukan di Poins Square seperti aku biasanya membeli. Ternyata stoknya kosong, dan jika berminat harus inden serta dijanjikan maksimal 5 hari setelah pembelian barang akan dikirim. Aku membeli tanggal 25 Mei, namun tanggal 1 Juni belum juga dikirim. Setelah kami tanyakan langsung di ES Teraskota, ternyata sebenarnya stok AC sudah ada sejak 3 hari setelah pembelian, namun entah mengapa mungkin kesalahan sistem, sampai tanggal 1 Juni belum juga dikirimkan. Akhirnya kepastiannya dikirim hari senin tanggal 3 Juni, dan tanggal 4 Juni ini AC sharp-ku sudah terpasang di kamar depan.

Nah, mengapa ES menjadi preferensiku untuk membeli barang-barang elektronik? Karena:

1. Banyak promosi dan diskon untuk barang-barang tertentu. Oleh karena itu aku selalu update diskon terbaru electronic solution yang bisa diakses melalui laman Katalogpromosi.com. Memang harga normal barang-barang elektronik di ES jauh lebih mahal daripada di toko elektronik biasa. Namun kita harus pintar-pintar mensiasati agar memperoleh harga terbaik dengan membeli saat barang yang kita incar benar-benar didiskon.

2. Pembayaran di ES sangat fleksibel dan bisa menggunakan berbagai macam kartu debit maupun kredit. Program cicilannya yang 0% dan bisa diangsur sampai dengan 12 kali untuk transaksi di atas 3 juta. Jadilah barang-barang yang kubeli itu barang-barang hasil kreditan.

3. Untuk pemasangan AC diserahkan langsung kepada teknisi merek yang bersangkutan sehingga akan lebih bagus dalam pemasangannya. Tidak asal hidup saja.

4. Display produknya begitu lengkap dan memberikan kita banyak pilihan untuk membeli.

5. Lokasinya yang berada di mal-mal menjadikanku kerap mengunjunginya. Biasanya sambil nonton, atau ke Gramedia terus mampirke ES meski sekedar cuci mata.

Aku tidak menjadi member ES dikarenakan harus membayar 100ribu. Sedangkan diskon dengan menggunakan kartu member hanya berlaku untuk produk tertentu yang belum tentu kita inginkan. Jadinya menurutku mubazir

Yang belum kesampaian adalah beli Televisi LG Smart TV LM6690 32 inch. Besok lah, kalau jadi pindah ke Jakarta.

Parung Panjang Deritamu Kini

Peta Parung Panjang di apple maps (dok. pribadi)
Parung Panjang, bukan Parung lho ya..... namun keduanya sama-sama berada di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Nah, yang mau kubahas disini adalah tentang Parung Panjang, lebih tepatnya perjalananku ke Parung Panjang.

Parung Panjang adalah sebuah kecamatan di ujung Barat Laut Kabupaten Bogor, berbatasan langsung dengan kabupaten Tangerang, Banten. Ngapain aku iseng maen kesana? karena aku nganterin kakakku yang ingin melihat tawaran rumah murah yang dibuat Perumnas di sana.

Dengan iming-iming dekat stasiun yang sudah disambangi beberapa kali dalam sehari KRL Commuter Line dan harga yang jauh lebih murah dari kawasan Jabosetabek lainnya, maka berangkatlah kami Sabtu pagi, 1 Juni 2013 ke Parung Panjang, daerah yang sama sekali belum pernah kami sambangi. Sekitar pukul 08.30 kami berangkat dari rumahku di kawasan Sarua menyusuri jalan Ciater Raya, lanjut ke Boulevard Timur BSD, nyambung ke Boulevard barat BSD, sampailah di kawasan Cisauk, pinggiran BSD. Pertigaan sebelum stasiun Cisauk, kami pun belok ke kanan ke arah Tigaraksa Kabupaten Tangerang.

Jalan rusak di Parung Panjang (dok. pribadi)
Tidak jauh dari pertigaan, kami sudah disambut dengan perbaikan jalan. nampak pengecoran salah satu sisi jalan, yang mengakibatkan lalu lintas diatur secara bergantian oleh warga setempat yang tentunya mengharapkan recehan dari kendaraan yang lewat. Tidak hanya satu, namun ada beberapa titik pengecoran jalan yang mengakibatkan natrean panjang, terutama kendaraan berat. aku dan kakakku yang hanya naik motor pun cuma kebagian debu yang dengan bebas merdeka berterbangan menerpa wajah kami. Behhh.... sial betul lewat sini. Karena kami belum pernah ke Parung Panjang, setiap kali ada pertigaan besar kami bertanya dengan pedagang kaki lima yang mangkal di dekat pertigaan. Tak lupa GPS di iPhone-ku always on.

Di sepanjang jalan menuju Parung Panjang kami bertemu dengan puluhan truk-truk bertonase besar pengangkut material tambang galian C yang lalu lalang tanpa merasa bersalah menebarkan debu ke pengguna jalan lainnya beserta rumah-rumah di pinggir jalan yang sudah tak kentara jelas warna cat rumah-nya karena penuh terlapisi debu coklat. Sudah dapat ditebak akibat yang ditimbulkannya, jalan rusak parah berkilo-kilo meter, padahal sebelumnya jalan tersebut sudah dibeton.

Jarak yang jauh sebenarnya tidak masalah, namun untuk akses ke Parung Panjang semua hal paling buruk yang sangat dibenci oleh pengguna jalan ada semua di ruas jalan menuju Parung Panjang. Jalan yang rusak parah, berdebu, macet parah karena ratusan truk besar yang melintas sungguh membuat melintasi jalan itu bagaikan melintasi jalan menuju neraka. Ku lihat juga ada truk yang hampir terguling karena kelebihan muatan plus mungkin juga karena as roda-nya patah akibat dari jalan yang rusak parah.

Truk-truk berat penyebab jalan rusak (dok. pribadi)
Setelah berjibaku dengan macet, debu, dan jalanan yang rusak parah hampir selama kurang lebih 1,5 jam, kami pun sampai di Perumnas Bumi Parung Panjang. Ternyata Perumnasnya masih tergolong sepi, padahal perumnas ini termasuk sudah lama berdiri. Lahannya masih cukup luas. Kesan pertama kami memasuki kawasan perumnas ini adalah jalannya yang rusak berat dan penuh kubangan lumpur, namun ada juga jalan yang baru dibeton karena areanya akan dikembangkan untuk tahap 3. Karena sampai jalan yang rusak berat, berkali-kali aku turun dari motor agar kakakku mudah melewati jalanan penuh kubangan itu.

Setelah 15 menit berkeliling kawasan Perumnas, sampailah kami ke kantor pemasaran Perumnas Bumi Parung Panjang. Kebetulan hari itu hari sabtu sehingga para karyawannya libur, hanya tinggal dijaga oleh satpamnya. Kami pun memperoleh brosur perumahan dari si satpam yang ternyata rumahnya memang murah-murah, berkisar antara 95jt s.d. 135 jutaan. Kami pun ditunjukkan kawasan yang mau dikembangkan untuk tahap 3 seperti yang tertera di brosur. Kami pun bergegas melihat lokasinya, ternyata setelah sampai di lokasi, kualitas bangunannya terkesan seadanya, terutama kualitas dinding rumahnya. kami pun masuk ke rumah contoh yang baru 75% jadi. Dindingnya sudah banyak yang retak dan mengelupas. aku pun coba mengeruk dindingnya memakai kuku jariku dan ternyata empuk sekali seperti roti, ha ha......( mungkin semennya hanya 1 sak untuk mengaci seluruh rumah). Dindingnya pun tipis sekali, seperti tidak ada batu batanya, mungkin saja kutendang robohlah rumah itu. Tidak heran jika di kawasan perumnas banyak rumah kosong yang hampir roboh.
Jalan di Kompleks Perumnas Bumi Parung Panjang (dok. pribadi)
Rumah yang belum jadi di Kompleks Perumnas Bumi Parung Panjang (dok. pribadi)
Rumah belum jadi di kompleks Bumi Parung Panjang (dok. pribadi)

Setelah kira-kira 45 menit berada di kawasan Perumnas, kami pun memutuskan untuk pulang. Sebelum pulang aku mampir ke indomaret untuk sekedar membeli minuman dingin sambil berdiskusi dengan kakakku mau lewat rute mana pulangnya. kami pun memutuskan untuk melalui rute arah Kota Tangerang untuk menghindari jalan yang sedang dicor. Namun kami harus melewati kembali jalan Parung Panjang dengan segala kemacetannya.

Ternyata perjalanan pulang lebih menyiksa. Kemacetan akibat turk-truk besar semakin menggila. Di pusat kota kecamatan parung panjang alias di depan Pasar Parung Panjang kemacetan sungguh luar biasa. Sepanjang perjalanan aku dalam hati menghujat para pembuat kebijakan di Kabupaten Bogor yang membolehkan truk-truk pengangkut material melewati jalan ini. Aku merasa kasihan sekali dengan masyarakat sekitar Parung Panjang yang dirugikan baik kesehatan karena debu, sulitnya aksesibilitas ke kota lain, dan waktu yang terbuang percuma akibat macet berkepanjangan sepanjang tahun.

Aku tidak bisa membayangkan jika hujan tiba, pasti genangan air dimana-mana dan akan menutupi jalan berlubang yang cukup besar sehingga bisa menjebak dan membahayakan pengendara yang melewatinya. Aku sangat mengutuk ketidakpedulian pemerintah setempat yang membiarkan kondisi seperti itu terjadi bertahun-tahun. Apa sih untungnya dari retribusi galian C yang tidak seberapa itu, dengan mengorbankan kesehatan dan kenyamanan hidup masyarakat ditambah rusaknya jalan yang membutuhkan biaya perbaikan yang jauh lebih tinggi dari nilai retribusi yang diterima pemerintah setempat. SUNGGUH TERLALU!
Jalan lebar mulus yang penghubung Summarecon dan BSD (dok. pribadi)


Akhirnya, sebelum mencapai kawasan Lippo Karawaci ternyata ada jalan tembus Boulevard Summarecon Serpong yang menghubungkan dengan kawasan BSD, dengan kondisi jalan yang sangat lebar dan mulus, seolah menjadi pelepas penat bermacet-macet ria di jalanan Parung Panjang. Kondisi yang sangat kontras terjadi di negeri ini, yang mempertontonkan secara nyata jika duit berkuasa. Golongan kaya bisa mendapatkan segalanya termasuk jalan yang lebar mulus di kawasan perumahannya, sedangkan si miskin dibiarkan dengan fasilitas jalan yang rusak dan rawan kecelakaan plus dikasih 'bonus' debu.

Jadilah perjalananku hari itu berakhir dengan pengalaman tak terlupakan dengan yang namanya Parung Panjang. Semoga Pemerintah setempat peka dengan penderitaan masyarakat Parung Panjang yang dirugikan akibat lalu lalang truk-truk bertonase besar. Melihat kondisi yang ada, kakakku akhirnya mengurungkan niatnya untuk membeli rumah di Perumnas Bumi Parung Panjang, karena meskipun dekat dengan stasiun namun jika akan kemana-mana sangat susah sekali.

Sunday, June 2, 2013

Mencoba Batik Air

Cover Majalah Batik Air Edisi Pertama (dok. pribadi)
Batik Air, maskapai terbaru di Indonesia yang mengusung konsep full service yang akan head to head dengan layanan serupa yang selama ini 'dimonopoli' Garuda Indonesia.



Batik Air mengandalkan Boeing 737-900ER sebagai armada utamanya. Di bawah manajemen Lion Group milik Rusdi Kirana, Batik Air menggunakan Terminal 3 di Bandara Soekarno-Hatta. Dengan motif batik pada bagian ekor pesawatnya, Batik Air mencoba menonjolkan kesan kuat budaya Indonesia.
Counter Check in di Terminal 3 (dok. pribadi)
Pagi tadi, aku berkesempatan untuk mencoba Batik Air untuk pertama kalinya. Tiket Jakarta - Balikpapan kubeli seharga 653ribu. Aku berangkat dari rumah di kawasan perbatasan Ciputat - BSD Tangerang Selatan pukul 7.20 WIB dan sampai di Terminal 3 Soeta pukul 08.15 WIB, padahal jadwal take off pukul 10.55 WIB. ''Ah nggak papa lah kepagian, malah masih sepi counter check in-nya", pikirku saat itu untuk menghibur diri. Ternyata dugaanku salah besar, di counter check in nomor 18, 19, dan 20 khusus Batik Air, terihat antrean panjang dengan bawaan rata-rata pengantre yang sangat banyak dan besar-besar.

Sebenarnya sekarang ini aku sudah jarang check in di Bandara karena sudah cukup nyaman check in melalui internet (web check in). Baik itu menggunakan Garuda, Lion, Citilink, ataupun Air Asia. Namun, untuk penerbangan Batik Air kali ini aku tidak bisa memperoleh kepraktisan melalui web check in. Menu web check in di website batik Air tidak bisa diakses bahkan di klik sekalipun. Semula aku menduga mungkin browser safari di iPhone-ku tidak support, namun setelah ku mencoba dengan browser google chrome di laptop juga terjadi hal yang sama. Entah karena batik Air belum siap dengan sistem web check in, atau website Batik Air sedang eror, yang pasti hal ini sangat mengganggu kenyamanan calon penumpang. hal ini patut disayangkan, di tengah maskapai lain berlomba-lomba memberikan kemudahan dalam check in, batik Air yang mengaku sebagai maskapai full service malah mengabaikan hal ini, padahal segmen pasar yang disasar Batik Air adalah kalangan menengah ke atas yang mayoritasmelek teknologi dan tidak ingin direpotkan dengan sistem check in manual di bandara yang membuang banyak waktu.
Daripada aku ikut antrean panjang, mending aku duduk-duduk dulu saja di dekat counter check in sambil menunggu berkurangnya antrean, toh jadwalku masih lama. 45 menit kumenunggu tapi tidak ada tanda-tanda antrean berkurang. Kuputuskan untuk ikut antrean, kebetulan aku antre di counter nomor 19. Nah, saat antre itulah aku baru tahu penyebab panjangnya antrean ada 2 faktor:
  1. Tiga counter check in yang dikhususkan untuk Batik Air masing-masing tidak spesifik ditujukan untuk penerbangan ke rute mana, melainkan tiga-tiganya melayani untuk semua rute penerbangan. Hal ini menurutku kesalahan fatal, karena jadwal masing-masing rute kan berbeda-beda, nah jika ada penumpang dari rute yang akan boarding duluan akan tertahan di dalam antrean. Dalam kasus antrean tadi, penerbangan ke Manado sudah siap boarding, namun masih ada penumpang jurusan Manado yang antre di belakang, jadinya di petugas counter check in sampai teriak, "Manado, Manado......! yang Manado bisa langsung ke depan!". jadilah kami yang sudah antre di depan jadi jengkel karena semakin menambah lama antrean gara-gara si penumpang Manado yang mepet bahkan terlambat check in. Coba jika counternya dibuka per rute penerbangan, kan nggak perlu antre lama bagi yang terburu-buru check ini.
  2. Bawaan bagasi penumpang yang berlebihan. Ternyata para penumpang jurusan Manado juga banyak membawa barang bawaan sampai berdus-dus dan berkoper-koper besar yang jelas akan memperlama waktu check in. Seharusnya Batik Air mencontoh apa yang dilakukan Garuda Indonesia dengan menyediakan counter check in bagi penumpang tanpa bagasi, sehingga prosesnya lebih cepat dan counter itu bisa diberlakukan untuk semua rute penerbangan.

Ruang Kaki yang lebih lega (dok. pribadi)
Akhirnya setelah antre sekitar 30 menit aku mendapatkan boarding pass yang disitu tertera waktu boarding pukul 10.25 WIB. Langsung saja aku menuju ruang tunggu lantai 2. Tak lama kumenunggu, akhirnya terdengar pengumuman kalau penumpang Batik Air tujuan Balikpapan dengan nomor penerbangan ID 6252 dipersilahkan untuk boarding. langsung saja kutengok jam tanganku, ternyata disitu baru menunjukkan pukul 10.09 WIB. Di satu sisi aku senang karena lebih cepat dari jadwal, di sisi lain jadinya aku malah menunggu lama di pesawat karena masih menanti para penumpang yang boarding belakangan.

Masuk di kabin pesawat, interiornya secara awam tidak jauh berbeda dengan pesawat sejenis yang digunakan Lion Air, yang membedakan hanya  Jumlah kursi yang lebih sedikit, ruang kaki yang lebih lebar, dan fasilitas Audio VIdeo on  Demand yang ada di masing-masing kursi.
Entertaiment Video Audio Batik Air (Dok. Pribadi)
Fasilitas in flight entertainment menyediakan tayangan film-film hollywood, Bollywood, Asia,dan lokal. Adapula tayangan serial tv luar negeri, lagu-lagu, dan games untuk anak-anak.Namun diluar dugaanku, headset untuk mendengarkan audio tenyata diharuskan untuk membeli seharga 25ribu jika ingin menggunakan di pesawat, dan tidak diperkenankan menggunakan headset pribaadi. Penumpang di sebelahku yang kebetulan membelinya harus terpaksa gigit jari karena headset-nya tidak mau berfungsi, dan setelah komplain ke pramugari baru bisa keluar suaranya kira-kira 15 menit menjelang landing. Oiya,  layar sentuhnya juga dilengkapi colokan USB yang bisa kita pakai untuk nge-charge HP atau alat elektronik lainnya yang bisa di-charge melalui USB port.

Pelengkap Makanan Utama (dok. pribadi)
Dari semua fasilitas yang diberikan oleh batik Air, makananlah yang paling cocok untukku. Saat itu ditawarkan dua pilihan menu, nasi daging atau nasi ayam. Aku memilih nasi daging, yang didalamnya ternyata ada nasi dengan empal 2 lapis yang menurutku cukup enak rasanya beserta sayuran rebus berupa irisan wortel dan sejenis sawi. Disamping menu utama adapula dessert berupa irisan roti gulung dan es krim walls. Minuman yang disajikan ada cola, air mineral, jus rasa jeruk dan apel, teh dan kopi. Saat itu aku tanya ada jus jambu atau tidak, ternyata tidak ada dan aku pun memesan jus apel saja, namun yang disajikan jus jeruk, mungkin pramugarinya kelupaan karena masih belum terbiasa melayani pesanan penumpang yang macam-macam. Dalam paket menunya juga tersedia gula pasir, krimer, garam dan merica bubuk dalam kemasan sachet. Jika di garuda menggunakan stainless steel untuk peralatan makannya, Batik Air menggunakan sendok, garpu, dan pisau berbahan plastik. Overall sudah bagus lah untuk kualitas makananya.
Di Kantong kursi pesawat selain ada buku panduan prosedur keselamatan, dan buku doa, juga tersedia majalah BATIK. Majalahnya terkesan eksklusif dengan kertasnya yang lux, tanpa meninggalkan konten yang   lumayan bagus.
Pramugari Batik Air  tampil cantik dan menawan dengan paduan kebaya putih dan bawahan batik sehingga tampil sangat Indonesia dengan tetap elegan. Tapi yang membuatku kurang sreg adalah potongan rambut pramugarinya yang kurang matching dengan kebaya yang dipakai. Akan lebih elegan jika rambutnya disanggul modern alih-alih hanya dibiarkan tergerai dengan panjang sebahu. Dalam melayani penumpang pramugari masih terkesan kaku dan kikuk terutama dalam menghidangkan makanan. Namun, hal tersebut hanya soal kebiasaan yang pasti bisa lebih bagus seiring berjalannya waktu.
Koreksiku terhadap pelayanan Batik Air lebih ke teknis pre-departure:
  1. Web Check in yang belum berfungsi, juga beberapa navigasi di website Batik AIr yang belum bisa diakses
  2. Penataan ulang  sistem check in di Bandara perlu pembagian jelas untuk rute penerbangan dan perlunya pelayanan counter check in tanpa bagasi.


Selamat mencoba terbang bersama Batik Air.