Monday, February 24, 2014

Pengalaman Baru Manggala

Manggala Prama Migi (dok. pribadi)
Manggala malam ini tidak bisa tidur bersama ibunya. Sejak pukul 4 pagi tadi sampai besok, Manggala harus ditinggal Nining untuk mengikuti pelatihan di Tretes, Pasuruan. Ini adalah pengalaman pertama buat Nining dan Manggala tidak tidur malam bersama.

Sejak lahir sampai saat ini, Manggala belum pernah sekalipun tidur malam tanpa ditemani ibunya. Meskipun nining banyak kegiatan di luar kota, seperti waktu ke Jogja beberapa bulan yang lalu, Manggala selalu dibawanya. Namun, hari ini terpaksa Nining sementara waktu berpisah dengan Manggala, padahal Manggala akhir-akhir ini sangat susah untuk tidur malam, apalagi malam ini tidak tidur ditemani ibunya.

Manggala kalau sedang tidur malam dan ingin netek ke Ibunya, pasti merengek bilang 'mimik....mimik....!' jika dia nggak segera direspon atau Ibunya pas tidak berada di sampingnya, maka dia tidak akan basa-basi langsung nangis sekencang-kencangnya yang sanggup membuat tetangga kanan kiri terbangun dari tidurnya, bahkan tak jarang terdengar sampai jalan raya yang berjarak kurang lebih 40 meter dari kamar Manggala.

Hari ini Manggala akan mengalami pengalaman baru dari hidupnya, yaitu belajar 'Mandiri' tidak ditemani ibunya saat tidur malam, dan otomatis dia tidak bisa netek ibunya, padahal selama ini intensitas netek dibandingkan dia minum susu formula lebih banyak neteknya.

Sampai saat ini aku belum tahu Manggala akan tidur dengan siapa, apa ditemani tantenya, neneknya, atau sama Bu Tris (sepupunya Nining yang biasa mengasuh Manggala) atau malahan ditemani ketiganya. Kami sudah was-was dan khawatir jika Manggala malam ini akan merengek terus mencari Ibunya, semoga hal itu tidak terjadi.

Ke depan tentunya Manggala akan sering ditinggal Ibunya malam hari, apalagi jika Nining besok jadi ngambil PPDS Obsgyn, pastinya akan semakin sibuk.

Andai saja aku bisa menemani Manggala malam ini.... andai....

Sunday, February 23, 2014

Proses Sebuah Nama si Jabang Bayi

Akhir-akhir ini infotainment dipenuhi berita tentang akta anak Ayu Ting-Ting. Diberitakan jika ayu ting-ting akhirnya memasukkan nama suaminya, yaitu si 'Enji' sebagai bapak si jabang bayi di akta lahirnya. Namun, si ayu tidak mencantumkan nama keluarga si Enji di nama belakang anaknya, melainkan mencantumkan nama ayah si ayu ting-ting.

Lho kok malah nggosip soal ayu ting-ting, emangnya udah keabisan bahan tulisan yak... Just intro aja sih. Yang mau kubahas kali ini adalah tentang proses pemberian nama seorang anak manusia.

"Apalah arti sebuah nama", ungkapan populer yang sering kita dengar sehari-hari. Tentunya orang tua memberikan nama kepada anaknya pastinya ada maknanya, meski sesingkat atau sesederhanapun nama itu. Jadi ungkapan itu tidak sepenuhnya benar.

Nama biasanya menjadi cerminan doa orang tua akan masa depan anaknya. Entah itu sikap si anak kelak akan mirip dengan tokoh yang namanya dijadikan nama anaknya, ataupun sikap si anak kelak sesuai dengan makna kata yang digunakan sebagai nama. Apapun itu, tentu orang tua tidak ingin anaknya menyandang nama seperti nama tokoh yang tercela ataupun kata yang berkonotasi negatif.

Proses pemberian nama bagi sebagian orang adalah sesuatu yang mudah dan cenderung sepele, namun bagi yang lainnya adalah sesuatu yang rumit, ribet, dan terkadang membuat ketegangan dalam keluarga.

Nah dalam kasus ayu ting-ting, dia menamakan anaknya dengan mengambil dari bahasa Arab. Dan dia memakai nama ayahnya sebagai nama belakang anaknya sebagai nama keluarga. Nama Keluarga? Perlukah itu? Hal itu perlu dalam beberapa suku di Indonesia yang mengenal sistem marga, yang paling terkenal adalah marga dalam Suku Batak, yang penurunan nama marganya berdasarkan garis Bapak dalam artian si anak yang lahir hasil perkawinan diberi nama keluarga (belakang) sesuai nama keluarga Bapaknya, bukan Ibunya. Nah si ayu Ting-Ting ini mungkin tiru-tiru dengan tren sekarang ini jika nama belakang seorang anak harus ada nama keluarga, padahal namanya sendiri tidak ada embel-embel nama keluarga dan dia pun bukan berasal dari suku yang memang mempunyai aturan marga.

Tren penggunaan nama belakang juga melanda orang nomor satu di negeri ini yang kebetulan berasal dari Jawa. Padahal dalam budaya Jawa tidak dikenal nama keluarga. Cucu Presiden dua-duanya menyandang nama Yudhoyono di nama belakangnya, padahal SBY sendiri tidak menyandang nama bapak/keluarganya, karena memang suku Jawa tidak mengenal penamaan dengan nama keluiarga. Namun hal itu sah-sah saja sih, toh nggak merugikan siapapun juga.

Tren penggunaan nama keluarga untuk bayi yang baru lahir akhir-akhir ini tidak hanya melanda kalangan tokoh nasional ataupun selebriti melainkan sudah diadopsi oleh masyarakat awam yang notabene tidak memiliki sejarah penggunaan nama keluarga. Mungkin jika fenomena ini semakin meluas, maka tidak hal yang mustahil Suku Jawa di kemudian hari akan memiliki sistem marga seperti halnya Suku Batak.

Penggunaan nama keluarga dari suku yang memang tidak mengenal sistem marga sering menimbulkan banyak persepsi di tengah masyarakat. Ada yang berpendapat pemberian nama keluarga untuk melanggengkan nama besar seorang tokoh/orang yang berpengaruh besar pada masanya. Adapula yang berpendapat bahwa anak, cucu, ataupun keturunan selanjutnya yang menyandang nama besar kakek atau mbah buyutnya/leluhurnya akan mendapat tempat yang istimewa/terhormat di tengah masyarakat nantinya. Tak sedikit pula yang berpendapat sinis, pemberian nama keluarga hanya merupakan wujud dari ego seorang Bapak ataupun Kakek yang ingin namanya terus abadi dan menunjukkan dominasinya terhadap keluarga. Masih banyak lagi persepsi lain yang tidak perlu saya uraikan satu persatu.

Kembali lagi ke proses penamaan seorang anak. Aku sempat terkejut dengan apa yang dilakukan artis idolaku saat remaja dulu, Mbak Dian Sastro yang ternyata mencari nama untuk anaknya dengan searching di Kamus Bahasa Jawa Kuno. Kami pun sempat berdiskusi kecil tentang nama calon anak keduanya di Instagram. Kedua anaknya pun akhirnya menyandang nama-nama berbau nama-nama tokoh zaman Mataram Kuno plus dengan akhiran nama belakang kakek buyutnya yaitu Sutowo. Memang kakek dari suami Mbak Dian Sastro ini adalah Pengusaha Besar yang dikenal sebagai Bosnya Pertamina pada masa jayanya dulu, Ibnu Sutowo. Namun bedanya dengan Ayu Ting-Ting yang baru menggunakan nama bapaknya sebagai nama belakang anaknya, Nama Belakang anaknya Mbak Dian menggunakan nama belakang yang ternyata dimulai dari inisiatif Kakek Buyutnya (Ibnu Sutowo) untuk menamakan anaknya (ayahnya suami Dian Sastro) dengan embel-embel nama keluarga Sutowo sebagai nama belakang. Dan ternyata nama keluarga itu awet sampai ke buyutnya (anaknya Dian Sastro). Sedangkan si Mbak Dian sendiri juga mempunyai nama belakang 'Sastrowardoyo' sebagai nama keluarganya.
Percakapanku dengan Mbak Dian Sastro di Instagram (dok. pribadi)

Di sini tidak akan dibahas kelebihan atau kekurangan sistem marga, atau penamaan seseorang dengan nama keluarga. Tentang penamaan tentunya sepenuhnya hak dari orang tua si jabang bayi. Nah, bagaimana dengan proses penamaan anakku sendiri?

Jauh-jauh hari sudah kusiapkan nama sebelum anakku lahir. Tidak dari bahasa Arab yang sedang tren saat ini, melainkan aku tetap menggunakan Bahasa Jawa sebagai akar budaya leluhurku untuk penamaan putraku. Aksatriya Manggala Prama, itulah nama yang kupersiapkan sejak awal yang artinya Pemimpin utama yang mempunyai sikap ksatria. Nama Manggala terus terang idenya dari Bapakku, Beliau ingin nama cucu pertamanya diberi nama Manggala Yudha. Namun tidak aku terima mentah-mentah ide itu, kudiskusikan dengan Nining terlebih dahulu. Manggala nama yang bagus dan jarang digunakan, tapi ada yang mengganjal dengan nama 'yudha'. Nining khawatir jika diberi nama Yudha anak kami nantinya suka berkelahi ataupun nakal karena makna kata Yudha adalah perang. Akhirnya kami bersepakat memakai nama Manggala dan menanggalkan nama Yudha. Namun kami juga ikut tren penamaan masa kini yang memakai tiga suku kata untuk sebuah nama, lain halnya saat masaku dulu yang hanya dua suku kata. Nah akhirnya, kata aksatriya dan prama menjadi pilihanku, digabung menjadi Aksatriya Manggala Prama.

Tibalah saatnya istriku melahirkan. Saat aku menunggui istriku di kamar rumah sakit sedangkan bayiku masih di ruang inkubator karena sempat keracunan ketuban, kami pun kembali ngobrol membahas nama untuk anak kami. Ternyata selama ini Nining menceritakan nama yang sebelumnya telah kami sepakati kepada Ibunya, namun Ibunya kurang setuju dengan nama Aksatriya, karena mirip dengan anak sepupunya Nining yang bernama Satriya dan yang ternyata anaknya sering sakit-sakitan. Tidak mau cucunya sakit-sakitan seperti si Satriya, Ibunya Nining meminta Nining agar mempertimbangkan nama lain.

Akhirnya kami sepakat untuk menghapus nama Aksatriya. Namun kami bingung mencari nama penggantinya. Jika kami hanya menamai Manggala Prama akan terasa nanggung diucapkan, kurang satu kata lagi biar enak diucapkan menurut kami. Tiba-tiba spontan aku nyeletuk "Gimana kalau diganti dengan nama MiGi singkatan dari Minggu Legi, kan lucu tuh!". Nining pun akhirnya setuju dengan nama itu, karena akan mengingatkan pada hari kelahirannya yaitu Minggu Legi sama seperti kakeknya Pati. Nama final yang kami pakai jadinya "Manggala Prama Migi". Nama itu kusampaikan kepada orang tuaku di Pati, dan Beliau merespon tidak ada masalah dengan nama itu.

Nah, giliran orang tua Nining yang harus kami kasih tahu. Sebelum aku memberi tahu ternyata Bapaknya Nining mengusulkan untuk memasukkan nama Sahara untuk nama belakangnya karena Beliau beranggapan bahwa Bapakku menyumbang nama Manggala dan biar adil Beliau juga usul nama Sahara, seperti nama belakang kelima anaknya. Namun, sejak awal aku tidak setuju dengan nama belakang, nama keluarga, atau semacamnya. Aku pun tidak memasukkan namakui sebagai nama belakang anakku. Aku agak bingung menjawab usulan ayah mertuaku itu. Untungnya, Nining sigap menimpali jika kami berdua telah bersepakat untuk memberi nama Manggala Prama Migi, dan itu murni ide kami berdua. Ayah mertuaku pun bisa menerima hal itu.

Saat aqiqah pun tiba dan 'dideklarasikan' jika nama anak pertama kami adalah Manggala Prama Migi yang berarti Pemimpin Utama yang lahir pada Minggu Legi. Nama itu adalah doa dan harapan kami terhadap anak kami, Manggala Prama Migi.

Sunday, February 16, 2014

Mobil...Mobil....

Manggala Berpose di depan mobil barunya (dok. pribadi)
"Mobil...mobil...! begitulah sahut Manggala ketika dia mendengar suara mobil lewat di depan rumah kami. Bergegas dia mengintip dari jendela kamar yang menghadap ke jalan depan rumah sambil memanjat-manjat teralis jendela.

Rutinitas itu dia sering dia lakukan ketika mau bobok malam. Maklum kami belum punya mobil sendiri dan dia memang sangat senang dengan mobil. Selama ini dia hanya bisa naik mobil kakeknya saja, dan ketika akhir tahun kemarin kuajak liburan ke rumah di Tangerang Selatan jadinya kami hanya bisa naik motor bebek untuk jalan-jalan atau sekedar belanja ke pasar. Hanya sekali saat kami jalan-jalan ke Kebun Binatang Ragunan saja yang naik taksi.

Manggala sangat senang sekali dengan mobil ataupun segala sesuatu yang berbentuk mobil. Mulai dia lahir cenger dia sudah dijemput pakai mobil dari rumah sakit. Umur 1,5 bulan sudah diajak mudik ke rumah ortuku di Pati naik mobil. Sampai dengan sekarang dia sering diajak naik mobil sama kakeknya meski sekedar nengok sawah atau jalan-jalan keliling kota, maklum aku nggak bisa menemaninya setiap hari karena kami tinggal berjauhan beda pulau. Dia paling suka kalau berada di mobil di bagian pengemudi karena ada setir yang bisa dia puter-puter. Saat kakeknya ataupun om-nya lagi nyetir, dia suka pengen megang setir juga. Kesukaan Manggala akan mobil mungkin ada sebabnya ketika Nining sedang mengandungnya, Nining lagi senang-senangnya nyetir mobil ke luar kota meskipun kandungannya sudah tua. Eh ternyata ngidam nyetir itu berdampak pada sifat Manggala yang suka akan mobil.

Suatu ketika saat kuajak dia jalan-jalan di Superindo di kawasan Pamulang II dia naik diatas troli belanjaan. Saat sedang asik-asiknya muter-muter, tiba-tiba dia teriak "mobil...mobil...!" sambil menunjuk-nunjuk satu pak die cast (mobil-mobilan kecil dari metal) yang dipajang. Kuambilkan lah satu pak die cast itu yang tentunya harganya relatif mahal daripada Manggala berteriak lebih kencang.

Dipeganginya erat-erat mobil-mobilan tadi sambil kami muter-muter lagi. Manggala mempunyai sifat mudah bosan dan gampang beralih perhatiannya. Nah saat perhatian dia tertuju kepada yang lain, langsung kuambil die cast tadi dari troli, dan segera kuletakkan di rak. Bukannya aku tidak mau membelikannya, pertimbanganku karena dia masih suka banting-banting mainan dan belum bisa membedakan mana mainan mahal mana mainan murah, atau yang berkualitas dan tidak berkualitas. Jadilah akhirnya keesokan harinya dia kami belikan saja mobil-mobilan plastik di pasar dekat rumah seharga 10ribuan, toh dia sama senangnya, kan sayang kalau mainan mahal dibanting-banting. Belum saatnya dia kubelikan mainan mahal. Pernah suatu ketika, aku punya RC yang relatif mahal, kumainkanlah RC tadi dihadapannya. Dia suka banget, tapi ya itu tadi kegemarannya masih suka banting-banting, buyarlah RC tadi lepas dari kaitan-kaitannya, meskipun masih bisa dirakit lagi.

Melihat Manggala yang sering menyebut mobil-mobil ketika berada di kompleks perumahanku selama di Tangsel, aku dan istriku jadi trenyuh, karena tidak bisa mengajaknya jalan-jalan keliling Jakarta naik mobil. Kasihan sekali aku melihat manggala hanya bisa kujepit di tengah-tengah antara aku dan nining saat jalan-jalan di Tangerang Selatan, belum lagi saat kena macet, polusi, plus mendung yang menggelayut saat mengendarai motor
sangat mengganggu dan tentunya tidak aman buat anak sekecil Manggala.

Rencana untuk membeli mobil sebenarnya sudah lama kami rencanakan, namun karena Nining lagi disibukkan dengan pembukaan Apotek barunya yang tentunya butuh modal yang lumayan jadinya rencana beli mobilnya kami tunda beberapa kali. Akhirnya sampailah kami pada kejadian betapa trenyuhnya melihat Manggala hampir setiap malam saat di Tangsel kemarin melongok dari kamar melihat mobil-mobil para tetangga yang berlalu lalang di depan rumah, dan kami putuskan untuk membeli sebuah mobil untuk Manggala. Pertimbanganainnya adalah agar kami tidak perlu meminjam mobilnya mertua untuk mudik ke ortuku di Pati setiap kali lebaran. Kemarin saat kami di Jakarta, aku ingin mengajak Manggala ke Sea World Ancol karena Manggala suka banget dengan ikan, tapi karena jauh dari rumah dan jikapun menggunakan Taksi paling tidak abis 500rb untuk pp dan akhirnya kubatalkan rencana tersebut. Kejadian yang berbeda tentunya akan berbeda jika kami punya mobil pribadi.

Pilihan kami jatuh pada Toyota Rush TRD Hitam dengan pertimbangan modelnya yang nggak ngebosenin dan ground clearance-nya yang tinggi karena harus tahan banting melewati rute mudik kami melalui Bojonegoro, Cepu, Blora, Rembang yang jalanannya bergelombang dan kurang bagus.

Setelah 3 minggu lebih mobil datang ke rumah, akhirnya kemarin STNK dan plat nomornya kami terima juga. AG 1665 RY, nomor yang menurutku mudah diingat. Aku belum bisa mencobanya untuk jalan-jalan karena posisiku sekarang dio Balikpapan, namun setidaknya Nining bisa mengajak Manggala jalan-jalan keliling kota Tulungagung atau nengok sawah. Semoga mobil ini membuat Manggala tambah ceria dan memudahkan mobilitas kami dengan nyaman dan aman.

Friday, February 14, 2014

Kritik itu Ancaman atau Anugerah ?

Rabu, 12 Februari 2014 kemarin terakhir aku mengajar mata kuliah Kapita Selekta Pengembangan Kepribadian Program Diploma I Sekolah Tinggi Akuntansi Negara di Balikpapan.

Tidak seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya, di akhir pertemuan itu aku mencoba mengajarkan kepada para mahasiswaku untuk belajar menjadi orang yang terbuka dalam hal ini terbuka terhadap kritik maupun saran dari orang lain, tidak menjadi orang yang resisten dan reaktif terhadap kritik.

Kucoba tekankan kepada mereka jika sebuah kritik itu bukan merupakan suatu ancaman, ejekan atau pandangan negatif orang terhadap kita. Namun sebaliknya dengan tetap positive thinking, kritik merupakan suatu bentuk kepedulian orang lain terhadap kita. Dengan adanya kritik kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik dan terus berupaya memperbaiki diri.

Kebanyakan orang menganggap kritikan adalah ancaman dan sulit untuk menerimanya. Mereka berpikir dengan dikritik, reputasi/citra meraka akan turun atau tercoreng dan kompetensi/kredibilitas mereka menjadi dipertanyakan. Tak jarang pula mereka menganggap orang yang mengkritiknya hanya orang yang sirik dan ingin menjatuhkannya. Pikiran-pikiran negatif itulah yang membuat kita resisten terhadap kritik.

Kadangkala kita tidak mampu melihat kekurangan kita sendiri. Tanpa kita sadari kita merasa nyaman dengan kondisi sekarang karena tanpa seorang pun mencela, mengkritik bahkan sekedar ngasih saran karena sungkan atau tidak berani dengan kita. Kondisi semacam 'comfort zone' itu bisa menjadi bumerang bagi kita, karena perubahan begitu dinamis di sekitar kita, sedangkan kita tetap pada kondisi kita sekarang ini yang merasa sudah paling baik, paling bagus, paling keren, paling pintar, ataupun paling berprestasi, dan tidak perlu melakukan perubahan dengan kenyamanan yang kita anggap seakan melekat seterusnya pada kita.

Seseorang paling mudah mengingat-ingat atau memperhatikan kekurangan orang lain, bukan kebaikan atau kelebihan orang lain. Sebaliknya kita sulit melihat atau menerima secara objektif kekurangan yang ada pada diri kita. Nah dengan prinsip seperti itu, sudah tentu kritik ataupun saran dari orang lain sangat kita perlukan untuk peningkatan kompetensi ataupun membentuk kepribadian kita yang lebih baik. Apalagi saran dan kritik itu dari teman kita atau orang dekat kita yang sering bergaul dengan kita, dengan catatan kritik dan saran itu harus jujur dan objektif.

Tidak semua orang senantiasa bisa menerima dengan legowo dan ikhlas sebuah kritik ataupun saran. Perlu proses untuk kita menjadi orang yang tidak resisten terhadap kritik. Sudah hal yang wajar jika kebanyakan orang lebih suka dipuji daripada dikritik.

Proses itu bisa dimulai dengan merubah pola pikir kita terhadap kritik itu sendiri bahwa kritik tidak berkonotasi negatif melainkan harus kita anggap sesuatu yang positif dan berguna untuk kita. Kemudian kita perlu melatih mental dan emosi dengan mencoba minta kritik dari teman atau orang lain secara jujur.

Nah untuk mengajarkan hal itu kepada para mahasiswa, aku mencoba mereka menuliskan kritik ataupun saran yang ditujukan kepadaku selaku dosen pengampu dan kepada teman sekelas yang memang ingin mereka kritik. Untuk teman yang mereka kritik aku minta mereka menuliskan nama teman mereka yang dikritik, tapa menuliskan nama mereka di lembar kertas kritik itu.

Nah, tibalah mereka mengumpulkan kritikan-kritikan tadi kepadaku. Untuk kritikan antar teman, kuserahkan kritikan kepada mahasiswa yang namanya tertera di kerta kritik. Hasilnya di luar dugaan, ada seorang siswa yang memperoleh kertas kritik signifikan banyaknya dibandingkan teman lainnya, adapula yang hanya dapat satu kritikan bahkan tidak sedikit pula yang tidak mendapat kritik.

Sebenarnya siswa yang mendapat kritik paling banyak itulah siswa yang paling beruntung? Mengapa demikian, karena selama ini teman-temannya memperhatikan tingkah lakunya dan peduli ingin siswa tersebut berubah menjadi lebih baik. Tentunya si penerima kritik paling banyak ini semakin banyak tahu akan kekurangannya dan berpotensi lebih besar untuk merubah berbagai sifat negatifnya. Semakin kita tahu dan sadar akan kekurangan kita, semakin besar peluang kita memperbaikinya, dan semakin terbuka lebar pula perubahan yang lebih baik pada diri kita dan tentunya kita semakin menjadi orang yang rendah hati. Tentunya semua itu bisa berjalan baik jika kita mau ikhlas dan senang hati menerima semua kritikan terhadap kita, tapi jangan sebaliknya kita malah terdemotivasi dan berprasangka buruk terhadap pengkritik kita.

Lebih baik banyak yang mengkritik kita daripada kita larut akan pujian-pujian yang bisa membuat kita terlena dan berakhir sebagai pecundang.

Membaca kritikan-kritikan dari anak didikku ternyata membuatku lebih melek akan kekuranganku selama ini yang seringkali tidak pernah terpikirkan atau kusadari sama sekali. Mulai dari potongan rambutku, bajuku yang kadangkala tampak lusuh/kurang rapi, ataupun dengan mimik mukaku yang kadang terlihat BeTe, padahal selama ini aku menganggap penampilanku selalu OK, fresh, penuh semangat dan ceria. Mungkin saja tanpa kusadari aku menunjukkan apa yang dikritikkan kepadaku tadi pada sejumlah pertemuan meskipun tidak pada semua pertemuan, namun kekuranganku itulah yang mudah melekat dalam ingatan mereka, karena kembali lagi pada dasarnya manusia memang lebih mudah mengingat kekurangan orang lain. Namun itulah anugrah dari Tuhan untuk jeli melihat kekurangan orang lain, agar kita bisa mengkritik dengan objektif dan pada akhirnya mampu memberikan perubahan ke arah yang lebih baik bagi orang yang kita kritik. Tentunya kritik perlu kita sampaikan secara santun dan seyogyanya dilakukan secara personal (bukan di depan umum).

Dalam kelas ini, aku juga belajar menjadi orang yang selalu terbuka terhadap kritik, karena sejak kecil aku terbiasa dengan pujian-pujian akan prestasiku dan tak terbiasa dikritik. Kini dengan kritikan, aku merasa mentalku semakin kuat, dan rasa percaya diriku semakin tinggi untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Sebaik-baiknya orang, adalah orang yang keberadaannya bermanfaat bagi orang lain. Kita jangan sampai pandai mengkritik saja, namun tidak melakukan perubahan ke arah lebih baik untuk diri sendiri.

Balik Juga Pakai Tiket Promo Super Murah (Liburan Akhir Tahun Part 4)

Balik ke Balikpapan jadi perkara yang tidak mudah setelah liburan panjang akhir tahun. Mengapa bisa demikian? Ternyata semata-mata demi prinsip ekonomi yang tak lain tak bukan adalah memanfaatkan tiket promo citilink seharga 55rb.

Tentunya sama halnya seperti tiket promo saat bernagkat liburan akhir tahun lalu, tiket pulang ini pun dengan rute yang sama. Surabaya -Jakarta dan Jakarta Balikpapan. Jadinya, yang harusnya dari Pati aku bisa lansung ke Surabaya dan terbang ke Balikpapan, demi tiket promo super murah aku rela 'banyak' repot melalui Jakarta dulu sebelum ke Balikpapan.

4 Januari 2014 kutempuh perjalanan dari Pati ke Surabaya kurang lebih selama 6 jam. Ternyata pesawat Citilink yang kunaiki delay sejam lebih, jadinya aku sampai di Cengkareng sekitar pukul 10 malam. Dari Cengkareng aku tidak langsung terbang ke Balikpapan, soalnya jadwal di tiketku untuk keesokan harinya sekitar jam 5 pagi. Jadilah aku mampir ke rumahku di daerah Tangerang Selatan. Aku naik DAMRI jurusan Lebak Bulus dan kulanjutkan naik Taksi menuju rumah. Sekitar pukul setengah 12 aku baru sampai rumah, langsung saja aku tidur karena harus bersiap pukul 3 pagi untuk berangkat ke bandara.

Lho kok nggak nginep di bandara aja, kalau cuma 3 jam-an di rumah? Memang sih lebih enakan begitu, nggak capek, plus nggak banyak keluar uang taksi yang lumayan mahal. Tapi berhubung aku mau mengambil suatu barang di rumahku dan ngasih barang titipan kakakku yang tinggal di rumahku, jadilah kuputuskan untuk mampir rumah, meskipun capek banget rasanya.

Jam 3 pagi kurang, Taksi Transcab yang disopiri Mas Murwanto yang sudah kukenal pun datang padahal aku masih mandi saat itu. Jam 3 tepat kami pun berangkat menuju bandara. Karena jalan belakang bandara sudah ditutup untuk pembangunan jalur kereta Bandara, jadilah satu-satunya jalan yaitu lewat Tol yang jaraknya lebih jauh dari jalan belakang bandara, tentunya argo taksinya lebih mahal plus ongkos tol-nya yang lumayan. Tapi nggak masalah lah, yang penting nyaman dan aku bisa sambil merem.

Penerbangan pertama Citilink hari itu menuju Balikpapan tergolong tepat waktu meski sedikit terlambat. Alhamdulillah sampai di Balikpapan dengan selamat dan lancar.

Ternyata butuh 'pengorbanan' fisik yang lebih besar untuk menikmati tiket promo super murah, ha ha.....

Thursday, February 13, 2014

Malam Tahun Baru 2014 Kuhabiskan di Jalan Raya (Liburan Akhir Tahun Part 3)

Mengakhiri tahun 2013, kami sekeluarga bersama mertua dan saudara melakukan perjalanan ke Pati, ke rumah ortuku. Sebenarnya, selepas dari Jakarta, aku saja yang berencana sendirian mudik ke Pati untuk mengurus SKCK buat kelengkapan pindah domisili ke Tulungagung. Namun, mertuaku ingin ikut sekalian silahturahmi ke besannya di Pati tentunya bersama Manggala dan Ibunya. Jadilah kami semobil berangkat dari Tulungagung sekitar pukul setengah 5 sore.

Hujan mengiringi keberangkatan kami sejak dari rumah di Tulungagung, kemudian di Trenggalek, sampai dengan Ponorogo. Kami sempat berhenti di Alun-alun Ponorogo untuk beli gorengan. Sesampainya di Madiun, suasana meriahnya tahun baru mulai terasa.

Tibalah kami di Ngawi sekitar pukul 9 malam, sempat salah arah mencari jurusan ke Cepu, lalu lalang sepeda motor anak-anak muda semakin ramai menyambut tahun baru. Sampai di Cepu kami mampir di warung kaki lima pinggir jalan untuk sekedar menikmati wedang kopi yang khas dari Cepu yang disebut Kopi Klotok. Setelah kuamati cara si penjual meraciknya ternyata kopi langsung dimasak bersama air mendidih di panci beserta gula pasirnya. Mungkin bunyi air mendidih 'klotok klotok' itulah yang melatarbelakangi penamaannya. Aku tidak minum kopi hanya mertuaku dan saudaraku yang pesan kopi klotok, aku sendiri hanya pesan es jeruk, karena perutku agak nggak kuat dengan asamnya kopi.

Puas beristirahat sambil ngopi, kami pun melanjutkan perjalanan menuju Blora. Apes betul, ternyata kami sampai Blora tepat setelah pesta kembang api di Alun-alun Blora usai, jadinya kami terhambat oleh lautan manusia yang mengendarai motor keluar dari alun-alun. Macet sekitar setengah jam, baru kami bisa jalan. Untungnya masih ada orang-orang yang menyalakan kembang api yang menurutku cukup bagus juga, dan Manggala pun terbangun dan tampak senang melihatnya meskipun dia ngantuk banget.

Mobil kami pun bisa berjalan kembali, mutar2 kota Blora karena jalan-jalan yang ditutup arus lalu lintasnya. Aku mencoba pakai GPS di iphone-ku untuk mencari jalan menuju Rembang. Lolos dari jebakan 'Tahun Baru' di Blora, kami pun melanjutkan perjalanan menuju Rembang. Kurang lebih satu jam kami melewati jalanan yang kondisinya bergelombang dan minim penerangan sepanjang hutan jati dan perkampungan yang kami lalui.

Lega rasanya akhirnya sampai Rembang, yang berarti jalan mulus lebar pantura Rembang-Pati akan menyambut kami. Sesampainya di Juwana, hujan deras menyambut kami dengan jalananan yang cukup lengang dini hari itu.

Akhirnya sekitar pukul 3 pagi kami pun sampai rumah orang tuaku di Pati, dengan hujan yang tetap mengguyur deras dini hari itu.

Keesokan harinya sekitar pukul 9 pagi, mertua, istri dan anakku serta saudaraku pamit pulang, padahal ayahku belum sempat menggendong dan belum puas bermain dengan cucu kesayangannya itu. Rencana semula sore hari baru balik Tulungagung, tapi karena mendadak saudaraku ada keperluan kantornya, maka dipercepat kepulangannya. Aku tetap tinggal di pati selama 3 hari untuk mengurus SKCK sebelum aku balik lagi ke Balikpapan.

Itulah pengalaman Malam Tahun Baru 2014 yang membuat capek dan kurang menggembirakan karena waktu kami yang habis di jalan dihajar macetnya lalu lintas Blora.