Thursday, August 22, 2019

Ke Museum Multatuli Rangkasbitung Naik KRL

Rangkasbitung, kota kecil yang jarang kita dengar, padahal lokasinya relatif dekat dengan Jakarta. Ternyata di Kota ini menyimpan sejarah yang era kolonialisme yang menjadi inspirasi ditulisnya Novel Fenomenal Karya Douwes Dekker alias Multatuli berjudul Max Havelaar, yang mengangkat nasib pribumi di wilayah Lebak Banten ketika era tanam paksa.

Penasaran dengan kiprah Multatuli di Tanah Lebak Banten, aku pun memutuskan untuk pergi ke Rangkasbitung. Tanggal 17 Agustus kemarin, usai upacara di Kampus, aku pun ke Stasiun KRL Sudimara dekat rumahku di Tangsel. Kebetulan ke Rangkasbitung paling cepat ditempuh dengan KRL, dari Sudimara memakan waktu sekitar 1,5 jam. Stasiun Rangkasbitung merupakan stasiun KRL terakhir yang ada di barat Jakarta. Dari Stasiun ini pula bisa melanjutkan ke Merak dengan kereta lokal.

Sekitar 1,5 jam aku berdiri di gerbong kereta. Pagi itu rame banget gerbongnya, sampai banyak yang berdiri. Mungkin bertepatan hari libur, plus KRL sedang memberikan promo tiket Rp1,- dalam rangka hari kemerdekaan. Sesampainya di Stasiun Rangkasbitung, ternyata suasananya tidak kalah padat dengan Stasiun Tanah Abang, bahkan lebih panjang dan padat antrean keluarnya. Dari Stasiun aku tidak langsung menuju Museum yang hanya berjarak +- 1,5 km dari Stasiun. Kalau berjalan kaki lumayan juga, mungkin sekitar 20 menitan. Aku mampir dulu ke RM Ramayana untuk makan siang mencoba sop kambingnya, hehe......

Enaknya di Rangkasbitung sekarang sudah ada Gojek, jadi meskipun aku baru pertama kali kesana, aku merasa nyaman-nyaman aja berkeliling kotanya. Kalau capek jalan kaki ya tinggal pesan gojek. Usai makan, aku pun langsung pesan gojek untuk tujuan museum multatuli. Mungkin hanya sekitar 5 menit sampai ke sana, tetapi aku tidak berhenti di museum melainkan mampir dulu di masjid agung karena sudah mendekati waktu dzuhur. Usai sholat, barulah aku berjalan kaki menuju Museum yang ada si sisi timur Alun-Alun Rangkasbitung, sedangkan masjid Agungnya berada di sisi barat. Masih terlihat tenda bekas upacara pagi harinya yang belum dibongkar karena pasti akan dipakai lagi sore harinya pas upacara penurunan bendera.

Alun-alunnya lumayan luas, dengan Kantor Bupati dan gedung DPRD di Sisi Selatan, dan ada Lembaga Pemasyarakatan di sisi utaranya. Nggak sampai 5 menit berjalan kaki ke museum dari Masjid agung. Sesampainya di Museum terlihat bangunan kuno dengan semacam Pendopo berbentuk atap limas yang tergolong rendah dan bangunan utama di belakangnya. Setelah kugoogling ternyata bangunan yang difungsikan sebagai museum itu adalah bekas Kantor Kawedanan Rangkasbitung. Sayangnya saat aku kesana, Museumnya tutup karena bertepatan dengan hari libur nasional, padahal biasanya hari sabtu dan minggu museum tetap buka. Museum tutup setiap hari senin dan hari libur nasional, jadi jangan sampai kecele kayak saya ketika bermaksud mengunjungi museum Multatuli.

Di samping bangunan utama ada patung multatuli sedang membaca buku, replika koleksi buku, patung wanita membawa kembang, dan patung petani (pribumi). Di samping museum ada bangunan apik bernuansa modern dengan tetap melekatkan unsur tradisional yang tak lain adalah perpustakaan daerah yang dinamakan Perpustakaan Saidjah Adinda.

Suasana di kompleks Museum Multatuli bisa dilihat di video ini:



Jadi lah aku tidak berlama-lama di area luar museum, kuputuskan untuk segera kembali ke stasiun untuk mengejar KRL jadwal terdekat. Ketika berjalan ke luar dari area Museum aku berjalan menuju arah LP Rangkasbitung di sisi utara, sebelumnya aku melewati bekas gedung Pengadilan Negeri rangkasbitung yang sudah tidak lagi digunakan dan ditetapkan oleh pemda setempat sebagai cagar budaya. Namun sayang, kondisi gedung terlihat memprihatinkan, tidak terawat, dan banyak ditumbuhi tanaman liar. Akan lebih baik jika difungsikan sebagai museum juga, semoga pemda Rangkasbitung segera merenovasinya dan digunakan sebagai bangunan fasilitas publik seperti museum.

No comments:

Post a Comment