Friday, May 29, 2015

Pengalaman Naik Travel Xtrans dari Bandara Soetta (Cengkareng)

Biasanya kalau ke Jakarta, dari Cengkareng aku naik Taksi sampai ke rumahku di Sarua, Tangsel.  Nah, Sabtu minggu lalu kebetulan aku ke Jakarta, dan karena masih pagi dan tidak terburu-buru, kucobalah naik Xtrans dari Bandara.

Keluar dari Terminal 2F, aku langsung berjalan belok ke arah kiri menuju halte Bus Damri. Yah kira-kira jalan 150 meter lah dari pintu keluar terminal 2F. Nah, di halte Bus Damri itu juga terdapat loket-loket Travel seperti Xtrans dan Cipaganti. Tanpa basa-basi kubeli tiket tujuan Bintaro seharga Rp50ribu. Coba bandingkan dengan ongkos taksi yang rata-rata habis 200-an ribu sampai persis depan rumahku.

Terlanjur kubeli tiket jurusan Bintaro, ternyata setelah kupikir-pikir dari rumahku lebih dekat jika aku turun di BSD. Xtrans jurusan Bintaro akan melewati daerah BSD dulu sebelum ke Bintaro. Jika di BSD akan berhenti di kawasan ITC, dan kalau ke Bintaro akan berhenti di kawasan Bintaro Trade Center (BTC), tempat pool Xtrans.

Tidak sampai setengah jam aku menunggu, travelnya sudah datang. Mobil Elf berkapasitas 9 penumpang plus satu sopir. Cukup luas mobilnya dan kursinya pun nggak terlalu sempit, dengan ruang kaki yang cukup luas.

Rencana-nya kalau aku berhenti di BSD akan turun di sebelum pintu masuk Tol BSD dekat Jalan Ciater, ternyata setelah kutanya tidak lewat daerah situ, jadilah aku kepikiran untuk berhenti ke Teraskota. Sambil nunggu jemputan kakakku, kan bisa nge-mall dulu, haha....

Total waktu dari Bandara sampai BSD kurang lebih satu jam, kalau ke Bintaro tinggal tambah saja sekitar 20 menit kalau tidak macet.

Naik Travel dari Bandara memang solusi lebih murah, asal destinasi kita masuk dalam rutenya, haha.....

Pengalaman Membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di BJB

"Asik bisa nengok rumah!", pikirku spontan saat aku mendengar ditelpon dari kantor pusat untuk mengikuti pelatihan seminggu di Jakarta. Maklumlah, sejak kubeli rumah itu sekitar 3 tahun yang lalu, aku belum pernah lama menempatinya, eh keburu SK mutasiku ke luar Jawa keluar. Ok, nggak papa, toh ada kakakku yang menghuninya.

Nah, kebetulan surat pemberitahuan pajak terutang Pajak Bumi dan Bangunan Tahun 2015 sudah keluar nih, dan sudah dibagikan oleh pihak kelurahan.

"Olala.... ternyata PBB-ku naik sekitar 50ribuan.....!", keluhku. Nggak papa lah, toh cuma setahun sekali, itung-itung ikut membantu keuangan Kota Tangerang Selatan agar menjadi daerah yang lebih maju.

Dua Ratus Sembilan satu ribu lima ratus sembilan puluh empat rupiah, itulah jumlah yang harus kubayarkan. Di surat pemberitahuan pajak terutang itu tertera tanggal 31 Agustus 2015 sebagai tanggal jatuh tempo pembayaran. Nominal PBB yang kubayarkan adalah 0,1% dari NJOP, ternyata NJOP rumah dan tanahku naik, untuk tanah seluas 135 m2 NJOP-nya Rp232.470.000 sedangkan rumah super mungil seluas 39 m2 NJOP-nya hanya dihargai senilai Rp59.124.000.

Daripada nunda-nunda sampai menjelang jatuh tempo, mending kubayar sekarang. Di sela-sela waktu istirahat siang, aku ngacir di Bank jabar Banten (BJB) di kompleks ruko depan Bintaro Plaza. Oiya di surat pemberitahuannya, PBB bisa dibayarkan di eluruh Teller dan ATm Bank BJB, padahal dulu saat aku pertama kali membayar PBB bisa bayar online melalui internet banking Bank Mandiri. Mulai tahun lalu Pemkot Tangerang Selatan bekerjasama dengan BJB untuk pembayaran PBB.

Berhubung aku tidak punya rekening BJB, jadilah aku ke BJB langsung, dan pilihan terdekat ya di Bintaro. Begitu masuk Bank yang luasnya cuma seuplik, maklum di ruko tempatnya, kudisambut ramah dengan sang satpam. Kusampaikan langsung tujuanku untuk membayar PBB. Langsung aku di ambilkan nomor antrian dan dipersilakan ke lantai 2. Di lantai 2 aku ditunjukkan seseorang untuk langsung masuk menuju suatu ruangan dimana ada seorang mbak-mbak pegawai BJB standby.

Ternyata nggak antre di teller, khusus pembayaran PBB dilayani di ruang tersendiri. Kutunjukkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang kepada si Mbak, dan langsung kubayar tunai. Kalaupun kita lupa membawa surat pemberitahuan Pajak Terutang asal kita ingat Nomor Objek Pajak (NOP), kita juga bisa membayarnya. Lebih praktis lagi aklau kita punya rekening BJB dan ATM-nya, nggak perlu repot-repot datang langsung ke Bank-nya..

Lumayan cepat pelayanan pembayaran yang diberikan oleh BJB depan Bintaro Plaza. So, bayarlah PBB sebelum tanggal jatuh tempo. PBB kita berkontribusi terhadap kemajuan daerah kita.

Tuesday, May 19, 2015

Perjalanan ke Objek Wisata Pemandian Air Panas Tirta Sanita Gunung Kapur, Ciseeng, Bogor (Bagian II)

Kesan pertama begitu aku memasuki Objek Wisata ini adalah sepi dan kurang terawat. Aku sedikit ragu dengan kondisi objek wisata di dalamnya. Disambut dengan lahan kosong luas yang dipenuhi rumput sebagai tempat parkir. Saat kami kesana terlihat sekitar 3 bus besar parkir dan tidak sampai 50 motor dan cuma beberapa mobil yang parkir.

Usai memarkir motor kami, kami pun langsung menuju gerbang loket tiket masuk. Untuk orang dewasa harus membayar Rp10.000 per orang, jika anak di bawah 4 tahun masih gratis, untungnya Manggala masih belum genap 3 tahun, plus tarif parkir motor Rp3000. Sebelumnya, kami bertanya kepada Mbak-mbak penjaga loket, apakah ada kolam renangnya. Mbaknya pun menjawab,

"Ada Pak di sana, kalau area bermain anak baru dibuka nanti sekitar pukul 4 sore?"

"Waduh, apa-apaan arena bermain anak dibuka mulai pukul 4 sore, sudah mulai mencurigakan nih....!" pikirku saat itu.

Kami pun masuk lokasi wisata dan disambut dengan arena bermain anak-anak yang tidak beroperasi, padahal ada kereta api mini, yang pastinya Manggala senang sekali menaikinya kalau beroperasi. di sampingnya ada danau buatan yang dilengkapi semacam sampan, bebek-bebekan, dan sebuah gelembung bola yang bisa dimasuki orang untuk berjalan-jalan didalamnya sambil menggelinding di atas permukaan danau yang semuanya sedang tidak beroperasi.

Beberapa langkah dari Danau kami disambut batu besar berwarna putih, itulah Gunung Kapur yang mengeluarkan sumber mata air panas. Kami berjalan menuju ke atas bukit kapur dengan pohon-pohon trembesi yang cukup besar berusia puluhan bahkan ratusan tahun membuat teduh di tengah gersangnya lingkungan di sekitarnya. Para penjual makanan minuman banyak yang tutup, tapi tetap ada yang buka dan menawarkan kepada kami kelapa muda, tikar, dan sebagainya.

Ternyata Gunung Kapurnya cukup kecil, cuma kami kelilingi sekitar 5 menit dengan berjalan santai sudah sampai ke tempat semula. Kami pun menghentikan langkah di sebuah rumah pemandian air panas namanya Rumah Bougenvile. Di rumah pemandian air panas itu lagi ramai dengan Ibu-Ibu beserta anak-anak yang habis mandi air panas. Kami pun berniat untuk berendam air panas di situ. Untuk Mandi Air panas di bilik-bilik semacam kamar mandi yang dilengkapi dengan bak dikenakan tarif Rp10.000 per orang. Kami menggunakan satu bilik, cuma Aku dan Manggala yang berendam air panas, sedangkan istriku hanya duduk melihat tingkah polah kami sambil mengabadikannya dengan kamera.

Bak mandinya terlihat putih dengan lapisan kapur seperti stalakmit gua. cukup hangat airnya, dan anehnya airnya ternyata ASIN. malahan Manggala yang tahu lebih dulu kalau airnya sin karena tak sengaja mengecap airnya "Asin-Asin Pak!", ujarnya sambil menjulur-julurkan lidahnya. Dia nampak senang sekali berendam di air hangat itu meskipun berasa asin. Rasa Asin itu mungkin karena tingginya kandungan mineral di air hangat itu, atau jangan-jangan terhubung ke laut, haha.....

Tidak lama-lama kami berendam, karena bahaya jika lama-lama. Sekitar 20 menit berendam, kami pun beranjak keluar bilik dan segera membilas mandi di pancuran air tawar. Puas berendam air panas, kami pun bersantai di bawah pohon besar yang rindang sambil menyewa tikar dan memesan kelapa muda. Senang sekali rasanya bisa berkumpul dengan keluarga kecilku, melihat tawa riang manggala dan senyum mengembang dari istri tercintaku, sayang momen-momen indah seperti itu jarang kami lalui bersama.

Sekitar pukul 1 siang, kami pun beranjak meninggalkan kompleks pemandian air panas, tak lupa kami berfoto dengan background gunung kapur yang eksotis. Kami pulang tidak melewat jalan saat berangkat, melainkan kami pulang melewati Parung seperti yang disarankan si tukang parkir karena jalannya jauh lebih bagus. kami pun dari pintu gerbang belok ke kiri menuju perempatan Ciseeng, menjelang perempatan Ciseeng, jalannya buruk sekali ditambah genangan yang seperti kubangan, huh parah banget, itu jalan terburuk yang pernah kutemui di Jabodetabek. Untungnya nggak terlalu panjang, begitu sampai perempatan dan belok ke kiri menuju parung jalannya pun sudah bagus. Jalan yang Kami tempuh ternyata lebih jauh, tapi nggak papa lah yang penting jalannya bagus. Melewati Pasar Parung ekmudian lurus ke utara menuju daerah Sawangan Depok, dan lurus menuju Ciputat, Kami pun berbelok menuju jalan Aria Putra, dan karena sudah lapar kami pun mampir ke Baksi TiToTi yang cukup terkenal di pinggir jalan Aria Putra, kira-kira 100 meter kanan jalan sebelum belokan jalan Sarua Raya - Bukit Indah.

Lumayan melelahkan perjalanan wisata hari itu, tapi kami puas sudah membuat manggala gembira.



Perjalanan Ke Objek Wisata Pemandian Air Panas Tirta Sanita Gunung Kapur, Ciseeng, Bogor

Minggu lalu kurang lebih seminggu kami berada di Jakarta (coret), alias di Tangerang Selatan. Ya saya dan istri sengaja mengambil cuti agar bisa liburan bersama sambil menengok rumah kami di Tangsel. Mosok seminggu di rumah terus, mal, dan pasar, pengen juga cari suasana baru alias berekreasi ke objek wisata.

Sebelumnya saya pernah googling objek wisata di dekat Tangerang Selatan, eh ternyata nemu yang namanya Pemandian Air Panas Tirta Sanita. "Wow di daerah yang dekat dengan ibukota dan jauh dari  pegunungan, eh ternyata ada pemandian air panas! Wah penasaran juga nih pengen liat....!", pikirku saat itu. Berbekal dengan pengalaman perjalanan yang diunggah oleh seorang blogger, kami pun mencoba untuk touring ke Pemandian Air Panas Tirta Sanita.

Selasa, 12 Mei 2015 sekitar pukul 9 pagi kami bertiga (bersama istri dan anak) dari perumahan kami di Grand Serpong 2 naik motor butut menuju Gunung Kapur, Ciseeng. Tak lupa kami penuhi dulu bensin motor kami di SPBU jalan Ciater Raya. Kami dari BSD menuju Puspitek Serpong arah Gunung Sindur. Jalan menuju Puspitek sudah cukup bagus dibandingkan sekitar 4 tahun yang lalu ketika aku dan istriku pertama kalinya melewati jalan itu nyasar nyari BKD Tangsel. Nah, begitu melewati Gerbang Perbatasan Wilayah Tangerang Selatan dan Kabupaten Bogor, jalannya mulai memburuk dengan iringan truk-truk bertonase besar yang silih berganti melewati motor bututku. Aku nggak berani melaju cepat-cepat karena membawa anak dan istri mengingat jalan yang jelek, berdebu plus truk-truk besar yang seolah-olah menjadi penguasa jalanan. Tidak sepenuhnya jalan yang kami tempuh jelek, adapula jalan yang cukup baik. Ya kira kira perbandingan ruas jalan yang baik dan buruk 60  : 40 lah....

Capek dengan jalanan dan kurang bersahabat, kami memutuskan untuk mampir ke Alfamart di pinggir jalan beli minuman dingin sambil mengistirahatkan mesin motor. Kutanya pada kasir Alfamart, "Mas lokasi Pemandian Air Panas masih jauh ya?"

"Gunung Kapur ya Mas?, sahutnya.

"Iya Gunung Kapur, Tirta Sanita!", sahutku balik

"O, itu mah udah dekat dari sini, ya kira-kira 15 menit lah dari sini, sebelum perempatan Ciseeng, kiri jalan!"

"Jalannya buruk ya mas?, tanyaku lagi

"Iya rusak, tapi nggak semuanya kok!, ujar si mas kasir dengan ramah

Istirahat sekitar 10 menit kami pun melanjutkan perjalanan ke arah Selatan menuju Gunung kapur. Ternyata benar jalannya rusak berat, apalagi jalan setelah perempatan alfamart tadi. Waduh kasihan banget Manggala, andai saja bisa kami bawa si hitam ke Jakarta, kan bisa melibas jalanan keparat ini dengan mudah, dan Manggala bisa tidur nyenyak tanpa terkena debu. Tapi ya sudah, kami nikmati saja perjalanan itu.

Seperti yang dibilang Mas Kasir tadi, sekitar 15 menit beranjak dari alfamart, kami pun sampai di Pintu Gerbang Objek Wisata Pemandian Air Panas Tirta Sanita. (bersambung)

Monday, May 18, 2015

Berkunjung ke Kota Muara Teweh, Kabupaten Barito Utara (Bagian III)

Malam hari di Muara Teweh jangan dibayangkan seperti malam hari di kota-kota besar di Kalimantan, apalagi dibandingkan dengan Kota Besar di Jawa, jelas jauh berbeda, sepi tapi sedikit lebih ramai daripada Buntok. Malam itu kebetulan hujan gerimis, nah asiknya makan malam yang bikin anget. Driver kami, Mas Jun menyarankan kami untuk mencoba sate atau tongseng Rusa, salah satu makanan khas di Muara Teweh yang patut dicoba. Ok, kami pun mencobanya dengan banderol harga sate per porsinya sekitar Rp40ribu, tidak mengecewakan lah. Tekstur daging rusanya cukup empuk, kayak daging sapi. Menurutku pribadi, aku lebih prefer sate kambing daripada sate Rusa yang kucoba di Muara Teweh, tapi overall patut dicoba lah daging Rusanya, paling tidak untuk memuaskan rasa penasaran. Usai makan malam, kami berkeliling lagi kota Muara Teweh dan ketemu itu-itu saja, yah maklum lah karena kotanya cukup kecil.

Keesokan harinya, usai sarapan kami pun langsung check out dari hotel. Sebelum meninggalkan Kota  Muara Teweh kami mampir ke Kantor Kemenag Muara Teweh, kemudian kami berfoto di  Patung Durian di salah satu perempatan di Muara Teweh, dan kami akhiri mengunjungi Kantor Layanan Filial KPPN Buntok di Muara Teweh.

Oiya ada satu yang kelupaan diceritain, ternyata di Muara Teweh hanya ada satu traffic Light, dan itupun lampunya sudah nggak berfungsi lagi, asiknya ya nggak perlu nunggu lama di perempatan, hehe....

Pulang dari Muara Teweh kami melalui jalan yang sedikit beda, yaitu sebelum memasuki Ampah, kami berbelok ke Kanan melalui Jalan Khusus Perusahaan Batubara. Jalannya cukup lebar namun kasar tidak diaspal sehalus jalan raya Muara Teweh - Buntok. Jalan ini cukup signifikan memotong waktu perjalanan paling tidak 30 menit dan tembus di daerah Sanggu, dekat dengan Rumah Dinas Bupati Buntok. Perjalanan Pulang kami dari Muara Teweh ke Buntok hanya butuh sekitar 3 jam saja, lumayan lebih cepat daripada berangkatnya.

Berkunjung ke Kota Muara Teweh, Kabupaten Barito Utara (Bagian II)

Memasuki Kota Muara Teweh, kondisi yang berbeda dengan kesan yang kujumpai saat memasuki kota Buntok pertama kali. Lumayan ramai dan hidup kotanya dengan lalu lalang masyarakatnya yang sepertinya lebih banyak dibandingkan masyarakat Buntok.

Muara Teweh konturnya tidak sedatar kota Buntok meskipun sama-sama berada di tepian Sungai Barito. Lebih banyak jalan naik turun di dalam kotanya. Kami pun berkeliling kota yang cukup kecil bila dibandingkan dengan kota-kota setingkat kabupaten di Pulau Jawa. Ketika melewati tepian sungai Barito, pandangan kami tertuju pada tulisan besar MUARA TEWEH yang berdiri di tepian sungai Barito dengan plaza taman yang menjadi ruang publik bagi masyarakat Muara Teweh. Kami pun tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk berfoto dengan background tulisan Muara Teweh.

Usai puas berfoto-foto, kami pun mampir ke KPP Pratama Muara Teweh untuk bersilaturahmi, kebetulan beberapa pegawaianya ada yang pernah menjadi siswa didikku di Balikpapan meskipun aku sudah pangling dengan wajah-wajah mereka sekarang. Kurang lebih satu jam kami mengobrol dengan beberapa pejabat KPP berbagi cerita suka dukanya bertugas jauh di pedalaman Kalimantan Tengah.

Dari KPP Muara Teweh kami langsung menuju Hotel Armani, Hotel terbagus di Muara Teweh untuk saat ini. Dikelola cukup profesional meskipun di kota kecil sekelas Muara Teweh. Cukup representative hotelnya. Kamarnya bersih, dengan springbed yang berkualitas dan toilet yang bersih. Air panasnya juga berjalan lancar, lengkap dengan TV kabelnya. Namun ada satu yang kurang dari hotel ini, kamar yang kuhuni, bahkan sebagian besar kamar ternyata tidak ada jendelanya... Oh No... kita tidak bisa tahu hari sudah siang atau gelap, cuma bisa tahu lewat jam saja. Untungnya kamarnya cukup representative. Untuk sarapan pagi lumayan juga, lebih lengkap daripada makanan Hotel di Buntok, lebih terlihat penyajiannya standar hotel. Dengan kamar yang cukup terjangkau, fasilitasnya cukup memadai, ya worth it lah.....


Tuesday, May 5, 2015

Berkunjung ke Kota Muara Teweh, Kabupaten Barito Utara (Bagian I)

Muara Teweh, nama kota yang baru kudengar sekitar 3 tahun terakhir ini, ketika aku bertugas di Balikpapan. Nama yang identik dengan daerah terpencil di pedalaman Kalimantan Tengah, yang jauh dari mana-mana, yang seringkali pula kudengar ke sana hanya bisa diakses melalui sungai Barito dengan perahu boat. Sekarang ketika aku bertugas di Pontianak, malah berkesempatan berkunjung ke sana.

Usai acara di Buntok, kami pun melanjutkan perjalanan ke Muara Teweh. Jarak antara Buntok dan Muara Teweh sekitar 150 km yang bisa ditempuh dalam waktu kira-kira 3,5 jam. Berbeda dengan perjalanan dari Palangkaraya ke Buntok yang jalanannya cukup datar dengan dominasi hutan rawa gambut di kanan kirinya, perjalanan dari Buntok ke Muara Teweh memberikan pemandangan dan kondisi yang jauh berbeda.

Berangkat usai makan siang di Buntok, kami naik Kijang Innova melibas perjalanan yang lumayan tidak membosankan menuju kota di pedalaman Kalimantan Tengah. Melintasi jalan raya yang cukup mulus namun agak sempit, kami pun menyusuri jalan dengan latar hutan perbukitan dengan hutan yang lumayan lebat namun sudah tidak ada pohon-pohon dengan kayu berdiameter besar ciri khas hutan hujan tropis yang masih perawan. Mungkin pohon-pohon besar di sepanjang jalan Buntok-Muara Teweh ini sudah habis ditebang pada masa kejayaan industri kayu di Kalimantan pada dekade 70-an sampai dengan awal 90-an.

Di tengah perjalanan kami melintasi daerah Ampah, yang merupakan titik persimpangan jika ke arah kanan akan ke kabupaten Barito Timur melintasi Kota Tamiang Layang, hingga bisa tembus sampai Banjarmasin, jika ke kiri lurus menuju Kabupaten Barito Utara dengan ibukotanya Muara Teweh. Kami sempat berhenti di masjid besar tepi jalan raya Ampah yang menurutku cukup besar untuk ukuran kota kecamatan di Kalimantan. Masjidnya baru direnovasi, namun tetap terkesan bersih dan lapang. Usai menunaikan sholat, kami pun melanjutan perjalanan yang masih sekitar 2 jam menuju Muara Teweh.

Dari Buntok ke Ampah, jalanan masih datar, tapi selepas AMpah jalanan mulai menanjak dan berkelok-kelok hingga Muara Teweh. Jalan Buntok - Muara Teweh sudah ada jauh sebelum jalan Palangkaraya - Buntok dibangun, namun jalan ini masih rawan longsor di titik-titik tertentu, terutama yang di pinggirnya berupa jurang. Masih cukup asri hutan di kanan-kiri jalan Ampah - Muara Teweh, sehingga mata ini pun tidak bosan dimanjakan dengan pemandangan hijau hutan dengan latar perbukitan Daerah Aliran Sungai Barito ini.

Menjelang pukul 4 sore kami pun mulai masuk Kota Muara Teweh ditandai dengan Jembatan Sungai Barito yang nampak gagah membentang panjang melintasi sungai terlebar di Indonesia ini.


Sunday, May 3, 2015

Berkunjung ke Kota Buntok, Kabupaten Barito Selatan (Bagian IV)

Karena waktu tempuh ke Muara Teweh yang berkisar 3,5 jam dari Buntok, dan waktu sudah menjelang makan siang, kami pun mampir ke Rumah Makan Balangan Rif'ah. Rumah makan ini berlokasi cukup strategis yaitu di pojok perempatan traffic light Jl. Pahlawan, dan berseberangan dengan Papan Nama "Buntok Kota Batuah" yang sering dijadikan latar belakang para pelancong yang mengunjungi kota ini.

Di rumah makan ini terkenal dengan masakan ikan bakarnya ada ikan nila, lais, patin, dan banyak lainnya. Adapula berbagai macam pepes ikan, dan yang istimewa adalah ikan Bilis goreng tepungnya yang renyah dan gurih. Aku sengaja memilih pepes ikan patin, ikan bilis goreng tepung, dan sayur asem.

Memang cukup mantap lah rasa dari masakan yang disajikan di rumah makan ini, sambalnya pun terasa istimewa, pantas saja rumah makan ini menjadi favorit para pelancong ataupun tamu-tamu dari luar kota. Masakannya fresh, enak, dengan harga yang relatif terjangkau, dengan pelayanan yang cepat.

Kenyang dengan makanan yang enak-enak, kami pun menyempatkan diri berfoto-foto di papan nama "Buntok Kota Batuah" di seberang rumah makan, tepat di pojok traffic light. Kata mas Jun yang mengantar kami, belum afdol kalau berkunjung ke Buntok, belum foto di situ.

Aku masih penasaran dengan seberapa luas sih kota Buntok, seberapa rame sih pusat kotanya, soalnya siang hari pun, hanya terlihat satu dua kendaraan saja yang lewat, dan di traffic light pun seringkali tidak ada kendaraan yang berhenti.

"Mas Jun, muter-muter kota dulu ya, dimana sih keramaian Buntok itu?", pintaku ke Mas Jun sebelum meninggalkan kota Buntok.

Kami pun diajak berkeliling kota Buntok, kami menuju pelabuhan kapal cepat di tepian sungai Barito. Pengen juga sebenarnya ke Muara Teweh naik speed menyusuri sungai Barito. Kata mas Jun, jika naik speed ke Muara Teweh waktu tempuhnya juga hampir sama dengan jalan darat berkisar 4 jam. Pelabuhan siang itu relatif sepi karena tidak pas jadwal pemberangkatan speed.

Usai dari pelabuhan tepian Barito, kami menyusuri melewati Plaza Beringin, pasar tradisional terbesar di Buntok yang terlihat agak rame siang itu. Beberapa bangunan pemerintah seperti Gedung Kantor Bupati Buntok terlihat sepi siang itu dengan halamannya yang luas, begitu pula dengan gedung DPRD Buntok yang lebih sepi. Hanya kompleks sekolahan yang terlihat rame dengan anak-anak sekolah pada jam istirahat siang itu.

Tak sampai 15 menit kami keliling kota Buntok dari ujung ke ujung, kami pun langsung melanjutkan perjalanan ke Muara Teweh. selepas kota Buntok, kami melewati daerah Sanggu ditandai dengan adanya bundaran besar, tapi tidak sebesar alun-alun dimana terdapat bandara kecil, rumah dinas bupati yang megah menggantikan rumah dinas bupati yang terbakar di tengah kota Buntok beberapa tahun silam, dan stadion yang cukup besar tapi kondisinya merana saat ini. Daerah Sanggu ini sepertinya dirancang untuk pengembangan kota Buntok, dengan jalan-jalan yang sedang dalam proses pelebaran, mengingat daerah Sanggu ini kontur tanahnya lebih tinggi dibandingkan kota Buntok yang sering tergenang banjir. Yang sangat disayangkan adalah kondisi Stadion Sanggu yang dulu dibangun untuk kegiatan MTQ Nasional, namun sekarang merana dan jarang dimanfaatkan, sayang sekali..... Begitulah seringkali nasib bangunan pemerintah, bisa membangun tapi nggak bisa memelihara dan memanfaatkannya dengan optimal. Di daerah Sanggu ini terdapat batas kota Buntok berupa sepasang gapura dengan bentuk unik khas Kalimantan Tengah.

Nggak jauh daerah Sanggu, kami melewati sebuah danau rawa yang cukup luas, namanya Danau Melawen. Banyak legenda yang mewarnai keberadaan danau ini, nggak saya jelaskan di sini, coba di googling aja, hehe..... Danaunya cukup luas dengan latar rawa-rawa dengan air yang tenang dipadu dengan biru langit di atasnya, sungguh menjadi pemandangan yang indah, gratis dinikmati pengendara sepanjang jalan. Cukup potensial jika dibuatkan semacam rest area sambil menikmati keindahan Danau Melawen, entah kapan itu bisa terlaksana, mungkin tidak lama lagi....

Baca juga:
Berkunjung ke Buntok (Bagian II)
Berkunjung ke Buntok (Bagian III)






Berkunjung ke Kota Buntok, Kabupaten Barito Selatan (Bagian III)

Usai Sarapan di Hotel 'Termewah' di Buntok, kami langsung menuju ke Kantor KPPN yang juga berada di Jalan Pelita Raya. Kami dijemput driver dari KPPN, Mas Junaedi. Kira-kira kami hanya satu jam di KPPN untuk berkoordinasi dengan pejabat setempat dan panitia daerah penyelenggara diklat, kemudian melanjutkan untuk survei lokasi tempat diklat yang akan kami selenggarakan. Pertama kami survei ke Aula di samping Masjid Agung yang sangat besar, sering digunakan sebagai gedung pernikahan, namun sayangnya tidak dilengkapi AC, hanya kipas angin-kipas angin besar yang tergantung di plafon dan yang terpasang di dinding kanan-kiri gedung. Untuk keperluan diklat yang pesertanya berkisar 30-40 orang, gedung ini terlalu besar, maka kami putuskan untuk tidak jadi menggunakannya. Kami pun melanjutkan ke gedung Aula Kementeriaan Agama Buntok. Ruangannya lebih kecil, ada kipas anginnya, ada AC-nya, namun AC-nya belum bisa dipakai karena daya listriknya yang masih rendah, nunggu untuk penaikkan daya. Tapi tak apa lah, masih bisa menggunakan kipas angin, semoga saja saat diklat nanti cuacanya tidak terik-terik amat.

Kendala di Aula Kemenag ini hanya satu, tidak punya banyak stok meja panjang untuk meja peserta diklat,  terpaksa kami harus menyewa. Kami pun menemui juragan persewaan tenda, meja dan kursi, Pak Piryadi namanya. Orang Kediri yang sejak tahun 70-an merantau ke Buntok, menikah dengan orang setempat. Dia mengaku pernah bergelut sebagai orang bangunan yang biasa membangun rumah alias tukang, dia juga pernah bekerja di perusahaan kayu ketika jaya-jayanya industri perkayuan di Kalimantan. Ternyata usaha persewaan meja kursi sudah dikelola oleh anaknya, dan kami pun jadi menyewa meja panjang sebanyak 13 buah dengan tarif Rp30ribu per hari selama 4 hari untuk 2 angkatan diklat, jadi totalnya kami sewa selama 8 hari, cukup murah lah.

Clear sudah kegiatan kami di Buntok, siang itu pula kami pun langsung menuju ke Kabupaten Barito Utara, tepatnya ke Kota Muara Teweh. Namun sebelumnya kami mampir dulu ke Rumah Makan yang cukup terkenal di Buntok, yaitu RM. Balangan Rif'ah yang terletak di pojok perempatan jalan Pahlawan.

Baca juga:
Berkunjung Ke Kota Buntok Bagian II
Berkunjung Ke Kota Buntok (Bagian IV)

Saturday, May 2, 2015

Berkunjung ke Kota Buntok, Kabupaten Barito Selatan (Bagian II)

Pukul 23.00 WIB saat itu Buntok sudah sepi banget, bahkan aku bisa jalan-jalan di tengah jalan dengan leluasa tanpa ada satu pun kendaraan yang lalu lalang. Kami pun diantar ke Hotel Mulya Kencana di Jalan Pelita Raya.

Sesampainya di hotel, aku memilih kamar super suite bertarif Rp500 ribuan semalam. Sudah bisa kebayang kan, kamar suite aja luas banget apalagi kamar super suite.... wah pasti luas banget dan lengkap fasilitasnya. Tapi kok harganya murah banget ya untuk level kamar super suite? wah jangan-jangan......

Kamar super suite yang kupesan berada di lantai 2 di bagian pojok lorong hotel. Begitu kubuka pintu kamarnya, Voila...... eng-ing-eng...... Benar dugaanku kamarnya luas banget. "Wah bisa bebas jengkulitan alias salto nih di kamar, kayak lapangan bola!", pikirku spontan saat itu. Kamarnya memang luas namun cukup sederhana untuk ukuran kamar super suite. Iseng kocoba mengukur lebar dan panjang kamarnya, dengan menghitung jumlah keramiknya yang berukuran (40x40)cm ternyata untuk lebarnya sebanyak 11 keramik, dan panjangnya 19 keramik yang berarti ukuran kamarnya sekitar (4,4 x 7,6) m, weladalah jembar banget......!

Kamar yang begitu luas dengan ranjang kayu ukuran (160 x 200)cm atau kalau salah berarti ukurannya (180x200)cm, dengan sprei motif bunga-bunga merah yang menutupi springbed-nya yang sepertinya kelas menengah-bawah (nggak sempat kutengok merek springbednya, tapi dari sensasinya di badan kutahu itu bukan springbed mahal). Kesan luas dan sunyi menimbulkan kesan singup alias angker, hiiii..... sempat merinding sih, tapi masa bodoh ah... yang penting aku bisa tidur nyenyak malam itu.

Nggak cukup sampai di situ, aku pun langsung mandi malam itu. Dan ternyata air panasnya nggak keluar-keluar. akhirnya kuputar-putar alat pemanas air yang tertempel di dinding kamar mandi, akhirnya keluar juga air panasnya meskipun kurang panas, tapi lumayan lah.... awalnya takut juga sih kesetrum, soalnya pemanasnya memakai listrik, bukan gas ataupun solar cell.

Di kamar super suite tersedia air minum galon, tapi mereknya bukan AQUA melainkan merek lokal. Kucoba mau meminumnya, ternyata saat kutuangkan ke botol bekas air mineralku, ada banyak kotoran endapan, oh no....... langsung saja kubuang ke kamar mandi, untungnya aku masih ada air mineral botol, cukuplah untuk semalaman. Eh ternyata di kamar temanku yang mengambil kamar tipe di bawah super  suite mendapatkan AQUA botol! Arghhh sial.....! Tapi nggak apa ding, toh cuma aqua botol, hehe.....

Nah, tibalah saat sarapan pagi hari. Ternyata makanannya sederhana bingitss....... Menunya cuma nasi putih, dan ayam yang dimasak semacam semur, itu pun dipotong kecil-kecil, weladalah kebangeten tenan! ditambah kerupuk kecil. Nggak ada buah, apalagi dessert. Yo wis lah, yang penting bisa ngganjel perut.....!

Ha ha.... dia monopoli sih, nggak ada hotel lain, jadinya ya gitu seadanya pelayanannya. Kalau ada sekelas Fave hotel aja, atau hotel baru saja yang sedikit lebih bagus pelayanannya, dipastikan kolaps nih hotel kalau nggak upgrade pelayanannya. Semoga manajemen Hotel Mulya Kencana cepat sadar, bahwa bisnis hotel itu bisnis jasa yang mengutamakan pelayanan kepada customernya, bagaimana mau jadi pelanggan setia kalau pengalaman pertama saja sudah mengecewakan.

Tips:
Jika terpaksa menginap di hotel Mulya Kencana Buntok, mending pilih kamar yang biasa-biasa aja atau sedang, yang penting bisa untuk merebahkan badan, lha bayar mahal atau murah juga hampir sama fasilitasnya cuma beda luas kamar aja yang signifikan.

Baca juga:
Berkunjung Ke Kota Buntok (Bagian I)
Berkunjung Ke Kota Buntok (Bagian III)
Berkunjung Ke Kota Buntok (Bagian IV)

Friday, May 1, 2015

Berkunjung ke Kota Buntok, Kabupaten Barito Selatan (Bagian I)

Narsis di Depan Tulisan Buntok Kota Batuah (dok. pribadi)
Mendengar kata Buntok, terbesit di pikiranku kota di Pulau Bangka. Ternyata dugaanku salah, Buntok tidak sama dengan Muntok. Buntok adalah sebuah kota kecil di Kalimantan Tengah.

Buntok pernah diplesetkan dengan kota "Buntu dan Mentok" alias kota terakhir yang terletak di pedalaman dan tidak tersambung dengan kota lainnya. Buntok dahulu memang susah diakses, namun sekarang bisa lebih mudah diakses dari Palangkaraya. Dulu kalau mau ke Buntok dari Palangkaraya harus ke Banjarmasin dulu, baru ke Buntok. Namun setelah dibuat jalan baru sekitar 200 km menembus hutan rawa gambut pertengahan dekade 2000-an, Buntok tidak lagi Buntu dan Mentok.

Aku kebetulan ada acara ke Buntok beberapa hari lalu. Dari Pontianak aku menuju Palangkaraya naik satu-satunya pesawat menuju Palangkaraya dari Pontianak, yaitu Garuda Indonesia "Explore Borneo" dengan jenis pesawat ATR 72-600. Dulu sebelum ada penerbangan langsung dari Pontianak ke Palangkaraya, harus ke Jakarta dulu baru ke Palangkaraya, rute ini baru dibuka kira-kira setengah tahun yang lalu.

Dari Palangkaraya, kami langsung menuju Buntok dengan mencarter 'taksi' Avanza dengan tarif Rp800ribu karena barang bawaan kami yang sangat banyak. Kalau tidak carter, tarifnya Rp130rb/orang. Dari Palangkaraya kami berangkat sekitar pukul setengah 7 malam. Menyusuri jalan panjang di tengah-tengah hutan rawa gambut, kami bertiga termasuk Pak Sopir yang bernama Yosep bercerita ngalor ngidul. Pak Yosep bukan asli orang Kalimantan Tengah, melainkan orang Maumere, Flores Nusa Tenggara Timur. Dia merantau ke Kalimantan Tengah sekitar tahun 1994, salah satu pendorongnya adalah gempa besar dan tsunami yang melanda Maumere kala itu. Awalnya dia bekerja di perusahaan kayu, dan terus gonta-ganti pekerjaan, sampai sekarang mempunyai travel sendiri. Beliau juga bercerita kalau jalan yang kami lalui ini baru dibangun saat Gubernur Agustin Teras Narang yang bertekad membuka akses ke Buntok dari Palangkaraya, dan akhirnya berhasil. Entah berapa dana yang sudah dihabiskan untuk pembangunan jalan raya yang merupakan prestasi luar biasa ini tapi jarang diekspos media nasional.

Di Ada sekitar 2 ruas jalan yang agak rusak dikarenakan terkena banjir, tapi masih layak digunakan meskipun belum diaspal kembali. Sekitar 2,5 jam dari Palangkaraya, kami pun sampai di daerah Timpah. Kami berhenti di rumah makan pemberhentian travel. Di situ tersedia makanan prasmanan. Aku cuma mengambil nasi putih, sayur asem, telur ceplok, dan tempe goreng, plus es teh. Sebenarnya ada banyak menu ikan, ayam, dan daging, namun saat itu aku kurang selera dengan masakannya. Saat membayar barulah kutahu ternyata harganya tidak dibanderol per item makanan, melainkan langsung dihitung Rp25ribu per orang. Jadi makan apa saja, All You Can Eat Only IDR25k, haha......

Ya lumayan lah untuk mengganjal perut, kami pun melanjutkan perjalanan ke Buntok. Sekitar pukul 22.30 WIB kami pun sampai ke kota Buntok. Sepi banget malam itu, nyaris tidak ada motor yang lewat di jalan raya. kami langsung menuju kantor KPPN Buntok untuk menurunkan barang-barang bawaan kami. Eh, ternyata sesampainya di gerbang kantor KPPN, ban kiri belakan mobil avanza yang kami tumpangi kempes karena bocor. Syukur Alhamdulillah nggak bocor di tengah hutan. Selesai menurunkan barang dan mengganti ban bocor, kami pun langsung menuju Hotel Mulya Kencana, hotel 'termewah' di Buntok, hehe.... (bersambung...)

Baca juga: Berkunjung ke Kota Buntok (Bagian II)

Membunuh Rasa Bosan Dengan Menulis

Bosan, Bosan, Bosan....... kata negatif yang seringkali kita lontarkan ketika harus menjalani rutinitas yang itu-itu saja alias monoton. Atau bahkan bosan bisa dikarenakan kebanyakan waktu luang yang cuma kita habiskan untuk nonton TV karena murah, lain halnya kalau kita punya banyak uang dan bisa plesiran saat hari libur. Semua aktivitas yang kita lakukan mempunyai potensi kebosanan, cuma kadarnya yang berbeda-beda.

Aku sendiri seringkali terbesit rasa bosan ketika harus mengerjakan pekerjaan kantor yang itu-itu saja, tapi itu masa lalu, sekarang aku sudah punya obatnya. Selain hobi membaca, kegemaranku menuangkan uneg-uneg dalam tulisan ternyata aku rasa-rasakan bisa membunuh rasa bosanku, dan itu EFEKTIF, paling tidak dalam kasusku sendiri.

Aku termasuk orang yang suka bicara alias cerewet, dan senang merekam suatu kejadian atau peristiwa dengan baik. Aku juga merasa punya bakat sebagai pengamat ataupun komentator alias suka 'mencela' haha.....

Nah 'bakat-bakat'-ku itu sayang banget kalau tidak kutuangkan dalam bentuk tulisan, siapa tahu ada pembaca blog ini yang 'terinspirasi' dengan tulisanku, atau paling tidak sebagai benchmark lah, haha......

Aku punya banyak sekali waktu luang, meskipun akhir-akhir ini pekerjaan kantor menyita waktuku, namun waktu luangku masih banyak banget, apalagi di perantauan ini aku jauh dari anak istri, lalu mau ngapain lagi malam hari, sabtu, minggu selain untuk menulis. Mosok cuma tidur-tiduran pada akhir pekan, bisa tambah buncit perut ini.

Menulis merupakan kegiatan yang sangat mengasyikkan bagiku. Menulis secara tidak langsung mendorongku untuk menjadi pengamat yang baik dan peka terhadap sekelilingku atau peristiwa yang kualami untuk kutuangkan dalam bentuk tulisan, siapa tahu berguna bagi pembaca, bisa jadi amal jariyah...... Kalaupun kita mendapatkan uang dari tulisan kita, itu bukan yang utama, padahal kalau dapat pasti seneng banget, hehe.....

'Penyakit' ketika mau menulis sebagian besar dari kita adalah ketiadaan IDE, padahal ide itu berserakan dimana-mana, banyak sekali. Aku heran jika ada teman yang kutanya, kenapa nggak nulis, dan jawabannya tidak punya ide, aneh sekali. Ada banyak ide di sekitar kita, misal ketika tiba-tiba ada hujan, kita bisa menulis berbagai macam judul dengan tema hujan. Ketika kita menginap di sebuah hotel, kita bisa membuat tulisan tentang pengalaman kita atau review kita terhadap pelayanan hotel tersebut. Atau ketika kita sedang jengkel menunggu waktu boarding pesawat karena delay berjam-jam, kita bisa menulis tentang hiruk pikuk orang di bandara, atau mengamati berbagai tingkah laku penumpang yang jengkel karena delay dan kita tuangkan dalam bentuk tulisan dengan mengetik menggunakan smartphone kita lalu upload ke blog. Banyak banget ide dan kesempatan untuk menulis, asalkan kita mau.


Melihat komentar-komentar di blog tentang artikel kita, ataupun ucapan terima kasih dari pembaca, memberikan kepuasan tersendiri yang tidak bisa dihargai dengan uang. Kalau pun ada kritik tentang artikel kita, jangan kita jadikan faktor demotivasi dalam menulis, melainkan harus menjadikan kita lebih baik dalam menulis. Mendapat kritikan berarti kita mendapat anugerah kesempatan untuk menjadi lebih baik.

Siapa tahu tulisan kita bisa menjadi buku, ya siapa tahu kan......entah kapan, haha.....

Menulislah selagi kita masih hidup di dunia ini, jangan hanya jago menulis komentar miring di medsos ya.......