Sunday, August 17, 2014

Etiskah Investasi Rumah ?

Kompleks Grand Serpong 2 Residence Tangerang Selatan (Sumber: Foto Pribadi)
Memangnya apa hubungan rumah sama investasi? Rumah kan semata kebutuhan pokok setiap manusia!

Rumah bukan lagi sekedar kebutuhan pokok melainkan saat ini sudah menjadi instrumen investasi. Perlu kita bahas, etiskah menjadikan rumah sebagai instrumen investasi?

3 tahun terakhir harga rumah naik gila-gilaan, tidak hanya di Jabodetabek melainkan di berbagai kota besar di Indonesia. Selisih cuma satu dua bulan, harga rumah sudah naik puluhan juta. Situasi inilah yang menjadikan orang-orang yang belum punya rumah semakin panik dan buru-buru membeli rumah. Tak mau kalah, orang-orang yang kelebihan duit juga berlomba membeli rumah baru tergiur dengan iming-iming harga rumah yang semakin menggila dalam tempo yang singkat, menjanjikan sebuah gain yang luar biasa.

Memang harga rumah di Indonesia selama ini tidak pernah turun, bahkan kawasan yang sering terkena banjir sekali pun (misal: kelapa gading dan pluit), kecuali rumah yang terdampak lumpur Lapindo atau sekitarnya. Namun, baru baru beberapa tahun terakhir ini saja harga rumah meroket nggak terkira.

Di BSD saja beli rumah sudah seperti beli kacang goreng, laris manis! Bahkan diundi sampai beberapa kali karena begitu banyak peminatnya, padahal harganya 1 M keatas! Wow Luar Biasa! Kaya-kaya ya orang Indonesia!

Di Jakarta sangat sulit menemukan rumah baru yang dijual developer di bawah 1 M! Lha wong di Bintaro, BSD, Serpong, bahkan Tangerang, Depok, ataupun Bekasi yang nempel dengan Jakarta, rumah harga 300 - 400jt saja sudah sulit ditemukan, kalaupun ada lokasinya mblesek dan nggak worth it lah...

Nggak usah jauh-jauh, lha di lingkungan perumahanku saja saat aku beli tahun 2011 harganya masih ada yang 200-an, eh tahun 2013 kemarin harganya sudah 500-an, apa nggak gila tuh!

Aku jadi heran, apa sih yang sebenarnya mengakibatkan harga rumah kok naik gila-gilaan, padahal penghasilan masyarakat Indonesia tidak se-signifikan itu kenaikannya. Idealnya kan kenaikan harga rumah juga mengikuti pertumbuhan penghasilan masyarakatnya. Apa karena pengembang yang suka 'menggoreng' harga rumahnya atau dipicu banyak investor dadakan yang membeli rumah dengan dalih investasi karena tergiur iming-iming kenaikan harga rumah dalam waktu yang relatif singkat?

Pertengahan tahun 2013 kemarin saya jalan-jalan di sekitar BSD, Gading Serpong, Alam Sutra ternyata banyak ruko-ruko dan rumah-rumah mewah berharga milyaran yang masih kosong tak tercium aktivitas penghuninya. Bisa-bisa jadi kota hantu kayak properti-properti di Cina yang dibangun secara masif namun minim bahkan tak berpenghuni.

Itu kasus di perumahan-perumahan kelas atas. Kalau perumahan menengah ke bawah di kompleksku ternyata sampai empat tahun sejak rilis sekitar tahun 2010, sampai saat ini paling baru sekitar 60% yang dihuni oleh pembeli aslinya alias end user. Sisanya masih kosong, ditawarkan dijual, ataupun disewakan. Tentunya investor yang membeli rumah di kompleksku pada awal-awal masa penjualan 3-4 tahun yang lalu akan menikmati keuntungan yang luar biasa jika propertinya terjual saat ini, bahkan jika harganya sudah didiskon 20% dari harga pasar saat ini sekalipun. Kalau pun belum laku bisa mereka sewakan atau kalau yang cuek (karena kebanyakan uang) ya dibiarin kosong.

Kok bisa ya harga rumah senilai 300-500 juta laris manis bak kacang rebus? Coba kita sedikit analisis: misal harga rumah 400 juta, DP 20%, dengan tingkat bunga misalkan 10% dengan tenor pinjaman 15 tahun maka angsuran per bulannya kira-kira sebesar Rp3,5 jt. Penghasilan pemohon KPR minimal paling tidak 10jt per bulan atau kalau join income dengan pasangan ya minimal kalau digabung jumlahnya 10jt, dengan catatan tidak memiliki kredit lainnya di bank. Yah, masih bisa lah untuk pasangan muda yang punya pekerjaan 'mapan' di Jabodetabek. Namun persoalannya uang muka yang 20% atau sekitar 80jt itu darimana??? Apalagi kalau uang tabungan habis buat nikahan tambah bingung lah.

Itu baru untuk rumah seharga 300-500jt yang saat ini paling bertipe 40-an dengan luas tanah standar yang biasanya 72 m2. Mungil sekali, kalaupun mau renovasi nambah kamar ya solusinya renov vertikal nambah lantai. Nah kalau harganya minim 1 M dan luas bangunan lebih dari 70 m2 maka DP yang harus dibayar minimal 30% sesuai aturan BI yang terbaru maka DP saja 300 jt, dan utang yang di KPR-kan 700juta, dengan asumsi tenor pinjaman 15 tahun dan bunga 10% maka cicilan perbulannya sekitar Rp7,6jt maka agar permohonan KPR kita di-approve penghasilan kita minimal sebesar Rp22jt. Untuk pegawai biasa sepertinya angka tersebut sudah tidak masuk akal belum lagi dengan besarnya DP sebesar harga rumah sederhana di pinggiran Jakarta, kecuali baru dapat warisan haha....

Mungkin aku sendiri kalau 3 tahun yang lalu tidak segera membeli rumah, dengan harga rumahku saat ini yang mungkin sudah sekitar 700-an jt, aku tidak kuat membelinya, bahkan dengan kenaikan gaji dan tunjanganku beberapa tahun ini. Aku tidak bisa membayangkan harga rumah beberapa tahun mendatang mungkin harga 1 milyar menjadi harga yang wajar untuk rumah mungil tipe 41/72. Harus berapa lama melunasi cicilannya? 25 tahun? 30 tahun? Sampai pensiun? Atau baru berakhir sampai kita meninggalkan dunia ini? Sungguh mengerikan!

Nah, bagaimana dengan dengan masyarakat yang gajinya pas-pasan 2-3 juta per bulan, bahkan kurang dari itu? Memang pemerintah punya program rumah FLPP dengan bunga rendah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), namun lokasi perumahan ini semakin jauh dari ibukota padahal aktivitas masyarakat berpenghasilan rendah ini berada di ibukota, praktis biaya transport pun membengkak dan lama waktu yang dihabiskan di jalan juga bertambah lama. Maka dari itu banyak rumah murah yang lokasinya sangat-sangat jauh dari ibukota tidak laku. MBR lebih suka mengontrak rumah dekat tempat kerja, dengan risiko tidak punya rumah seumur hidupnya karena harga rumah yang semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Salah satu contohnya adalah perumahan murah yang dibangun pihak Perumnas di Parungpanjang Bogor dimana aksesibilasnya yang relatif baik hanya menggunakan moda transportasi KRL dari ibukota, sedangkan alternatif transportasi lainnya sangat jelek. Banyak rumah di Perumahan Bumi Parungpanjang itu yang dibiarkan kosong tak berpenghuni oleh pemiliknya bahkan sudah mulai ambruk terkoyak cuaca.

Kembali lagi ke Investasi Rumah. Investasi kebutuhan pokok yang satu ini memang tidak diharamkan oleh peraturan yang ada. Harga rumah yang terus meroket haruslah mendapat campur tangan oleh pemerintah dengan kebijakan yang tepat.

Berikut beberapa ide yang mungkin bisa menahan liarnya harga rumah saat ini:
1. Pemerintah sudah semestinya memperketat kepemilikan rumah kedua, ketiga dan seterusnya dengan pajak yang lebih besar secara progresif dengan nilai yang cukup signifikan ataupun dengan bunga KPR yang jauh lebih tinggi dari rumah pertama
2. Pemerintah harus mempunyai land bank yang cukup luas untuk menjamin ketersediaan rumah dengan harga yang realistis bagi masyarakat. Hal ini juga untuk mencegah kenaikan harga tanah yang menggila dan untuk penyeimbang bagi developer swasta agar bisa mengerem kenaikan harga rumah yang seringkali dinaikkan dengan seenaknya.
3. Pasangan suami istri harus dianggap satu entitas, maka ketika rumah pertama diatasnamakan suami, sedangkan pasangan tersebut membeli rumah lagi atas nama sang istri harus tetap dianggap sebagai rumah kedua, oleh karena itu seperti kendaraan bermotor dengan pajak progresifnya berdasarkan kartu keluarga dalam hal penentuan pajaknya.
4. Harus ada aturan yang lebih rigid dalam membatasi kepemilikan rumah lebih dari satu.
5. Pemerintah harus mematok pada harga rumah tertentu yang realistis dengan kondisi daerah setempat yang bisa mendapatkan benefit kebijakan khusus dari pemerintah tanpa merugikan pihak developer perumahan tersebut
6. Pemerintah bisa memberikan insentif pajak bagi developer yang membangun rumah murah.

Ketidakmampuan masyarakat dalam membeli rumah seringkali disebabkan oleh besarnya DP dan bunga KPR, untuk mensiasatinya maka perlu:
1. Pemerintah memberikan kelonggaran bahkan meniadakan uang muka pembelian rumah dengan sistem KPR bagi pasangan suami istri yang belum memiliki rumah sama sekali dengan syarat harga rumah masih realistis dengan profil finansial pasangan tersebut (realistis plafon cicilannya). Kesulitan DP lah yang seringkali menjadikan masyarakat untuk menunda memiliki rumah sehingga dimanfaatkan oleh para 'investor' rumah untuk membeli rumah sehingga harga semakin terkerek dan masyarakat yang sebenarnya membutuhkan rumah semakin tidak mampu membayar DP yang semakin meningkat karena harga rumah yang semakin tinggi.
2. Pemerintah tidak boleh tutup mata melihat disparitas antara BI rate dengan bunga KPR saat ini yang rata-rata di atas 5%. Oleh karenanya agar masyarakat yang belum punya rumah semakin mudah memiliki rumah maka perlu kebijakan bunga rendah bagi calon pemilik rumah pertama.
3. Pembangunan memperbanyak rusun murah bagi MBR di pusat kota.

Saat ini pemerintah menerapkan DP 30% untuk rumah dengan luas bangunan di atas 70 m2. Namun, banyak developer yang mengakali kebijakan tersebut dengan me-mark up harga rumah saat pengajuan kredit di bank sehingga DP bisa diminimalkan dari yang seharusnya. Kebijakan ini dirasakan tidak efektif.

Beli rumah untuk investasi, mengapa selama ini pemerintah terkesan cuek dengan fenomena ini? Padahal rumah itu kebutuhan pokok bukan sarana investasi. Praktek ini seperti halnya membeli banyak kebutuhan pokok misal beras, gula, minyak goreng, bahkan BBM alias menimbunnya dan memicu kelangkaan suplai di pasaran sehingga harganya naik dan akhirnya si penimbun menjual timbunannya dengan harga yang tinggi. Nah, apakah kalau beli banyak rumah dengan keinginan mendapatkan gain yang tinggi pada masa datang yang secara tidak langsung kita turut berperan dalam meroketnya harga rumah disamping peran developer yang gemar manaikkan rumah dengan seenaknya. Apakah tidak merasa bersalahkah kita ketika banyak teman, tetangga, ataupun masyarakat yang tidak 'sekaya' kita kesulitan untuk mempunyai rumah sendiri dan menjadi 'kontraktor' seumur hidupnya.

Berbeda halnya jika kita investasi terhadap barang-barang non pokok, semisal emas. Kalaupun kita mampu membeli banyak emas bahkan menimbunnya, berhubung emas bukan kebutuhan pokok maka itu tidak masalah. Lain halnya jika kita menimbun kebutuhan pokok yang pada akhirnya memberikan kesulitan bagi masyarakat lainnya, tindakan kita tersebut adalah kriminal dan agama pun mengharamkannya.

4 comments:

  1. Anonymous4:32 PM GMT+7

    setuju pak...emang kenaikan harga rumah dan tanah di kota2 besar ind sudah absurd...(yayak)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul, pengembang naikin harga rumah kayak kacang goreng aja.... dipikirnya uang ratusan juta itu tinggal ngeruk di kuburan..... apalagi para spekulan tanah dan rumah yang lebih senang jika ínvestasi' mereka naik gila-gilaan membuatku eneg, padahal di sisi lain MBR menjerit melihat mereka cuma bisa bermimpi memiliki rumah yang layak.

      Delete
  2. Mantap banget pak infonya.. Makasih
    iya pak.. emang sepertinya harga rumah selalu naik ya, apalagi di daerah yang mudah dengan akses/fasilitas publik

    ReplyDelete