Saturday, December 22, 2012

Mutasi oh Mutasi (Part 1)

Mutasi, apa yang salah dengan kata ini? Sebagian pegawai sangat sensitif dengan kata ini. Pekerjaanku sebagai seorang PNS juga tak bisa lepas dari kata ini.

Mutasi ada yang senang dengan kata ini, ada pula yang tidak suka dengan kata ini. Orang yang cenderung resisten dengan kata ini ada beberapa cirinya:
  1. Pegawai yang sudah berada di 'comfort zone', sehingga sudah merasa cocok banget dengan posisinya saat ini.
  2. Pegawai yang sudah merasa nyaman dengan kota tempat bekerjanya sekarang ini.
  3. Pegawai yang sudah berkeluarga dan tidak ingin berpisah jauh dengan keluarganya.
  4. Pegawai yang tidak suka tantangan
  5. Pegawai yang tidak mempunyai ambisi untuk mengejar karir

Namun ada juga pegawai yang cenderung tolerir dengan 'mutasi' dengan ciri-ciri sebagai berikut:
  1. Pegawai yang posisinya saat ini tidak strategis atau tidak membuatnya senang
  2. Pegawai yang suka tantangan
  3. Pegawai yang terbiasa berpisah jauh dengan keluarganya
  4. Pegawai yang ditempatkan di daerah terpencil
  5. Pegawai yang berambisi terhadap karir/promosi

Nah, beberapa hari terakhir di unit eselon I tempatku bekerja ada mutasi pelaksana. Kebetulan ada 4 staf di kantorku yang ikut mutasi. 2 orang sudah berkeluarga, dan 2 orang masih bujangan. Semuanya adalah laki-laki. Yang sudah berkeluarga kebetulan dipindahtugaskan ke Jogjakarta, sedangkan yang masih bujangan dipindah ke Jakarta.

Keempat temanku itu tidak menampakkan ekspresi kegembiraan di wajahnya, bahkan yang terjadi sebaliknya. Padahal mereka semua orang Jawa, dan biasanya orang Jawa yang bertugas di luar Jawa dimutasi kembali ke Jawa, tentu mereka akan senang dengan kabar itu. Namun, hal tersebut tidak berlaku untuk keempat temanku tadi. Berbagai alasan tentunya yang menyebabkan kondisi kekecewaan:
  1. Mereka sudah terlanjur betah disini (Balikpapan)
  2. Mereka sudah mempunyai rumah dan mobil disini
  3. Anak istri mereka sudah nyaman tinggal di Balikpapan
  4. Lingkungan kerja di kantor yang menurut mereka sudah sangat nyaman
  5. Persepsi mereka tentang sulitnya beradaptasi di tempat kerja yang baru ataupun kabar-kabar bahwa tempat kerja yang baru sangat membosankan dan menebar rasa ketidaknyamanan.

Mutasi memang diperlukan dalam suatu unit organisasi biar tidak terjadi kebosanan dalam rutinitas kerja yang sama tiap harinya, mencegah terjadinya status quo dalam sebuah organisasi, mencegah dominasi faktor kesenioritasan, menempa pegawai menjadi calon pejabat atau pejabat yang tahan banting dan mengetahui permasalahan-permasalahan dalam berbagai unit kerja dalam organisasi.

Terlepas dari plus minusnya mutasi, untuk kasus keempat temanku itu mutasi mereka bukanlah mutasi vertikal/promosi jabatan, melainkan mutasi horisontal. Jadi jika mereka masih pelaksana untuk mutasi harus diperhatikan kondisi yang bersangkutan dan keluarganya, baik itu sisi finansial ataupun sisi psikologisnya.

Jika masih pelaksana yang umurnya relatif masih muda apalagi sudah menikah, untuk beradaptasi di lingkungan kerja baru pasti memerlukan waktu yang tidak singkat tergantung kemampuan pegawai tersebut maupun kondusifnya lingkungan kerjanya yang baru. Misalkan temanku si W yang sudah mempunyai rumah dan mobil dan berkeluarga. Untuk dimutasi ke kota lain dia harus menjual rumah dan mobilnya untuk modal membeli rumah baru di tempat kerja yang baru, padahal jual beli mobil apalagi rumah perlu proses yang relatif panjang untuk kecocokan harganya. Belum lagi dia harus meyakinkan istrinya untuk pindah ke kota yang baru.

Dia mungkin bisa saja mengontrak di tempat baru, tapi apakah keluarganya bisa tinggal di kontrakan yang sederhana padahala sebelumnya sudah terbiasa hidup nyaman di rumah sendiri. Besarnya biaya-biaya yang timbul saat awal-awal mutasi merupakan beban tersendiri bagi staf bersangkutan, dan jika beban itu tidak bisa ditangani secara baik akan timbul demotivasi yang bersangkutan dalam bekerja.

Seorang staf pelaksana, misalnya di kota Magelang yang bergaji 5jt jika dia dimutasi ke Balikpapan gajinya akan tetap 5 juta. Yang membedakan adalah nilai riil dari gaji sebesar 5 juta yang diterima. Kalau di Malang mungkin uang 20 ribu bisa untuk makan sampai 3 kali, di Balikpapan cuma bisa untuk sekali makan atau paling banter 2 kali makan jika mau ngirit lauk. Jadi secara riil pendapatan mereka berkurang. Belum lagi jika harus menengok anak istri di Jawa yang membutuhkan biaya tranport minimal sepertiga penghasilan. Oh,pahit sekali rasanya.....

Berbeda halnya jika mutasi vertikal/promosi jabatan, kompensasi gaji dan tunjangan yang lumayan berbeda signifikan dengan pelaksana, akan mengobati pahitnya mutasi ke daerah.

Jadi apa salahnya dengan kata 'Mutasi'?

Friday, December 21, 2012

Empat Kota, Empat Kesan Berbeda

Sampai saat ini aku sudah merasakan hidup di 4 kota.

1. Periode 1984 - 2002
Dalam periode ini kuhabiskan masa kecil dan remajaku di Kota Pati, sebuah kota kecil di Pantura Jawa Tengah yang terkenal sebagai kota pensiunan, karena sepinya kota Pati (saat itu). Kota yang dulunya adalah ibukota Karesidenan Pati, berada di Jalur Utama Pantura Jawa. Jalan Daendels yang dibangun pada awal abad ke-19 membelah kota ini dari barat ke timur.

Udara panas pantura Jawa, dengan nyamuknya yang 'ganas-ganas' menemaniku lebih dari dua windu usiaku. Kota kecil yang tidak ada macet, udara yang masih segar di pedesaan sekitarnya, bintang-bintang yang masih terlihat jelas di malam hari, serta langit biru di siang hari yang senantiasa menemani.

Makanannya pun tak kalah enak, ada Sate Kambing muda yang mak nyus, Nasi Gandul GadjahMati yang menggoyang lidah, Soto Kemiri yang sangat legit dan gurih, Bandeng Presto dan aneka makanan dan masakan yang lezat-lezat dan murah bisa kunikmati setiap saat.

2. Periode 2002-2008
Masa kuliahku kuhabiskan di kota Jogja. Di UGM kutempuh studi selama 6 tahun sampai gelar master kudapat. Kota Jogja adalah kota yang sangat berkesan dan membuatku kecanduan tuk senantiasa merindukannya. Aku sering menjelajahi obyek-obyek wisata di kota ini baik yang terkenal ataupun yang terdengar samar-samar. Di kota ini fasilitas sangat lengkap dan begitu mudah didapat. Mau wisata belanja ada mall, pasar, dan kaki lima yang menjamur, mau wisata budaya ada keraton dan museum-museum budaya ataupun gedung kesenian, mau wisata pegunungan ada Kaliurang, Kaliadem, Kalikuning, dan berbagai objek wisata di Lereng Merapi. Mau wisata Pantai ada Pantai Glagah, Trisik di Kulonprogo, Pantai Pandansari, Pandansimo, Depok, Parangkusumo, sampai Parangtritis dan Parangendog di Bantul, juga Pantai-pantai berpasir putih di selatan Gunung Kidul dari Pantai Baron, Kukup, Krakal, Sundak, sampai Siung dan Sadeng bisa dijelajahi dengan sangat mudah. Mau wisata Candi juga bertebaran di mana-mana, dari Prambanan, Kalasan, Ratu Boko, Banyunibo, Barong, Sambisari dan yang terbaru ditemukan Candi di Kompleks Perpustakaan UII.

Jogja dulu kota sepeda, sekarang menjadi kota sepeda motor. Mayoritas yang lalu lalang di jalanan Jogja adalah Mahasiswa. Berbagai plat nomor kendaraan dari Sabang sampai Merauke ada di Jogja. Berbagai macam suku di Indonesia bergelut menimba ilmu di kota pelajar ini.

Menuntut ilmu di Jogjakarta sungguh kondusif. Suasana yang nyaman, sejuk hawanya, makanan murah dan suasana tenang di pedesaannya sungguh membuat setiap pendatang betah tinggal berlama-lama di kota ini.

3. Periode 2009 - 2012
Hampir 4 tahun kuhabiskan di Jakarta. Tak pernah sebelumnya terpikirkan olehku untuk bekerja dan mempunyai rumah di Jakarta dan sekitarnya. Dalam benakku kala itu Jakarta begitu padatm identik dengan kemacetan, orang berseliweran dimana-mana, dan polusi udaranya yang panas, serta raungan kendaraan bermotor yang membahana. Tapi aku sudah mulai bisa menikmati ritme warga ibukota yang begitu cepat dan dinamis. Aku lumayan betah di Jakarta, sampai aku harus pindah tugas ke kota lain di akhir tahun 2012 ini.

4. Periode Oktober 2012 - sekarang
Di Balikpapan lah tempat kerja baruku. Di kota minyak yang terkenal mahal biaya hidupnya (lebih mahal dari Jakarta) aku harus beradaptasi lagi dengan lingkungan kerjaku dan kota Balikpapan. Udara Balikpapan yang sangat panas serta air yang kurang bersih merupakan kesan pertamaku akan kota ini. Kota ini dihuni mayoritas pendatang dari Jawa, jadi aku tidak terlalu susah mencari makanan yang cocok dengan lidah dan kantongku. nasi Pecel, Lodeh, Oseng-oseng, Sayur Bayam, Ayam tempe penyet, bertebaran di kota ini.

Semua Kota yang pernah kutinggali memberikan kesan sendiri-sendiri yang unik dan selalu kan kuingat sepanjang hidupku.

Balikpapan, 21-12-2012 (Hari 'Kiamat' versi Maya?)

Thursday, December 13, 2012

Iri Dengki vs Kebahagiaan Hakiki

Iri dengki tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia. Kita kadangkala iri dengan keberhasilan orang lain baik itu keluarga atau teman kita sendiri. Seringkali kita melihat teman kita lebih pintar dari kita, lebih banyak rezekinya (dalam hal ini materi) ataupun lebih tampan atau lebih cantik dari kita. Kadangkala pula terbesit perasaan senang ketika teman yang membikin kita iri mendapatkan musibah. Manusia memang aneh, haruskah kita membiarkan sifat iri dengki yang memang merupakan sifat dasar manusia ini membelenggu sepanjang umur kita di dunia ini?

Ada banyak kerugian jika kita selalu diliputi sikap iri dengki terhadap orang lain:
  1. Hidup kita menjadi tidak tenang, tidur kita pun selalu tidak nyenyak karena selalu berpikir keras tentang kesuksesan orang lain yang membuat kita iri hati.
  2. Iri dengki adalah penyakit hati, pernyataan ini adalah sesungguhnya benar adanya karena jika kita iri hati akan membuat suasana hati kita tidak senang gembira dan menjauhkan kita dari aura positif sehingga metabolisme tubuh kita akan terganggu dan pada akhirnya bukan kesehatan yang kita dapatkan melainkan berbagai macam penyakit yang membuat hidup kita semakin tidak bahagia.
  3. Iri dengki hanya membuat kita sibuk untuk mengorek-ngorek sisi negatif dari seseorang sehingga menghambat produktivitas kerja kita ataupun kreativitas. energi yang kita gunakan terbuang percuma dan potensi kita akan semakin tertutup jika terus memupuk sifat iri dengki di hati kita.


Coba kira renungkan, bukankah Tuhan telah menganugerahkan berbagai kelebihan-kelebihan yang spesifik bagi tiap-tiap ciptaan-Nya. Tidak sepantasnya kita iri akan kelebihan orang lain, karena kita sendiri mempunyai kelebihan yang orang lain itu tidak punya, mungkin kita belum menyadari akan kelebihan kita.

Beberapa motivator menyarankan kita selalu mensyukuri nikmat yang telah diberikan-Nya kepada kita agar kita senantiasa diberi rezeki oleh-Nya. Salah satu cara bersyukur adalah dengan mengendalikan hati kita untuk tidak iri dengki kepada teman kita yang kita anggap lebih berhasil dari kita. Kita harus ikut senang melihat teman kita banyak rezeki, toh tidak ada gunanya iri dengannya karena hanya menguras energi dan makin menghambat rezeki kita.

Perbedaan rezeki (dalam hal ini materi) seringkali menjadi pemicu timbulnya sifat iri dengki di hati kita. Sejak dini mind set kita akan definisi rezeki harus kita ubah, rezeki bukan hanya kelimpahan materi semata melainkan juga kesehatan, kebersamaan kebahagiaan dengan keluarga, kemudahan-kemudahan dalam menjalani hidup, putra-putri yang sholeh dan pintar, istri yang setia dan mampu mendidik putra-putri tercinta. Coba kita identifikasi diri dan keluarga kita, apakah selama ini kita sehat dan jaraang masuk rumah sakit? apakah anak-anak kita di sekolah pintar dan tidak nakal? apakah tiap hari kita bisa berkumpul dengan anak istri tercinta?

Coba kita juga tengok teman atau saudara kita yang membuat kita iri karena rezekinya (materi) lebih berlimpah. apakah dia dan keluarganya selalu sehat? apakah dia berkumpul dengan anak istrinya setiap hari? apakah anak-anaknya menjadi anak yang berprestasi di sekolahnya? 

Jadi tidak ada alasan bagi kita untuk senantiasa memupuk sifat iri dengki dalam hati. Tuhan Maha Adil, dan jika kita selalu bersyukur akan nikmat-Nya niscaya kita akan dilebihkan dalam hal rezeki bukan sekedar materi.

Kebahagiaan ada dalam mind set kita sendiri. Ada orang super kaya tapi belum merasa bahagia, ada orang sederhana tapi dia merasa bahagia sekali dengan hidupnya. Jadi untuk mencapai kebahagiaan hakiki tidak melulu harus mencapai kelimpahan materi, melainkan bagaimana cara pandang kita dalam mendefinisikan kebahagiaan itu. Tapi yang pasti, kebahagiaan yang hakiki tidak akan pernah terwujud jika kita masih memelihara sifat iri dengki dalam hati kita. 

Sunday, December 9, 2012

Proses Pembelajaran vs Bawaan Orok

Proses Pembelajaran vs Bawaan Orok. Itu adalah pernyataan yang mempertanyakan sejauh mana proses belajar atau pengalaman hidup seseorang mampu merubah ataupun memperbaiki karakternya.

Aku memang gemar memperhatikan, 'niteni', dan menyimpulkan karakteristik seseorang. Untuk kasus ini yang jadi 'korbannya' adalah bos baruku.

Dia masih relatif muda, belum genap 40 tahun orangnya. Awal aku kenal dengan dia, kulihat orangnya ramah, rajin, enerjik. Namun setelah berpartner selama beberapa minggu aku mulai mempertanyakan kesan pertamaku terhadap dirinya.

Bermula dari menyalahkan hal-hal kecil yang seolah-olah itu adalah tanggung jawabku dan dianggapnya aku sudah cukup mengerti dan auto pilot dengan proses bisnis di unit baruku itu, dengan kata lain dia lupa kalau aku pegawai baru di kantor.

Kedua saat aku makan bareng-bareng sama teman-temanku, ada seorang teman yang mempergunjingkannya. Sebut saja si Aan. Aan bercerita panjang lebar kepadaku kalau dulu dia mantan anak buahnya, dan sering crash dengan bosku yang sekarang itu. Seringkali dulu si Bos itu bersikap temperamen, dan tak kalah sengit temanku juga wataknya temperamen jadi mereka sering bersitegang. Saat itu dibenakku aku tidak langsung percaya dengan cerita temanku itu.

Pada kesempatan lain, aku seringkali melihat Bosku itu memarahi anak buahnya yang lain dengan sangat ketus dihadapan banyak orang, dan dia pun tak sungkan untuk terus menyalahkan anak buahnya di hadapan tamu sekalipun! Ckckckckck.......

Sampai puncaknya aku juga terkena omelannya. Malam-malam sudah saatnya aku beranjak ke peraduan, si bos hobi marah ini menelponku........ "Huh, ngapain ni si bos nelpon malam-malam gini?", gerutuku dalam hati. Kuangkat telponku, dia langsung menanyakan pekerjaan kantor. "Mas, tadi datanya sudah diinput belum?"ujarnya. "Data yang mana Pak?", tanyaku balik agak kebingungan. "Itu data pesertanya.....", dengan nada agak tinggi. "o yang itu Pak, belum Pak yang itu, tadi saya kelupaan." " Kok bisa lupa, tadi ngapain aja", tanyanya dengan ketus. " iya Pak tadi kan saya ngerjain ini itu, jadi bener-bener lupa, maaf ya Pak, besok pagi-pagi sekali jam 6 saya kerjakan di kantor!", seruku. Terus terang aku tidak suka dengan kata-kata dia yang 'tadi ngapain aja', seolah-olah di kantor aku tidak kerja apa-apa! Huh..... Padahal lupa kan manusiawi, toh dia sebagai bos selaku koordinator yg wajib memantau anak buahnya juga lupa akan hal itu. Yang aku sesalkan, etika dia sebagai seorang atasan, yang memarahi anak buahnya malam-malam lewat telepon, sungguh patut disayangkan, toh semuanya bisa diselesaikan dan hal itu tidak urgent banget. Dalam hatiku perlu ikut coaching n mentoring course ini bos, biar tahu gimana memperlakukan bawahan dan membimbingnya, bukan malah mendemotivasi.

Keesokkan paginya kukerjakan tuntas pekerjaan yang terlupa kemarin sebelum bosku itu datang. Beberapa hari yang lalu aku juga disalahkan lagi, dibilangnya aku lambat. Terlebih omongan itu dilontarkan kepadaku di hadapan tamu dari Jakarta, huh..... Kalau memang aku lambat nggak masalah dimarahi, lha kenyataannya aku sudah sigap, cepat, dan baru selesai mengerjakan satu tugas, malah dibilang lambat, dasar nggak tau diuntung atasan kayak gini. Bukannya dimotivasi atau diapresiasi karena cepat tugasnya, malah didemotivasi dengan pernyataan yang memerahkan telinga. Untungnya aku relatif sudah terlatih untuk menyikapi atasan model gini dan untungnya lagi aku bukan orang yang mudah terdemotivasi dengan pernyataan-pernyataan nggak berkelas dari seorang atasan, paling-paling aku hanya mempergunjingkan dengan teman-temanku, hix.....

Seorang pimpinan seharusnya mampu memotivasi anak buahnya agar berkarya lebih baik, bukan malah hobi mendemotivasi, kalau anak buahnya pada ngambek, hayo....kelabakan lah dia. Terlebih lagi sikap memarahi bawahan di depan orang banyak bisa sangat mempermalukan anak buah, sehingga pasti akan membuat anak buah sakit hati, terdemotivasi, bahkan bisa memicu tindak kekerasan jika sang anak buah punya karakter keras dan tidak terima perlakuan atasannya. Setahuku dalam konsep kepemimpinan tidak ada yang namanya kesalahan anak buah, yang ada adalah kesalahan pimpinannya tidak bisa mengkoordinir, memantau, membimbing bawahannya. Jadi jika seorang atasan selalu menyalahkan anak buahnya itu berarti membuka boroknya sendiri bahwa dia tidak becus mengurus anak buahnya. Jika ada hasil kerja anak buah yang menurut atasan belum benar, maka tidak boleh seorang atasan langsung membentak bahkan menjelek-jelekan bawahannya, yang harus dilakukan adalah dengan menuturkan dengan bahasa yang cerdas dan elegan bahwa pertama harus mengapresiasi hasil kerja bawahan, baru selanjutnya memberikan arahan dan bimbingan seperti halnya "sudah bagus hasil kerjamu itu tapi alangkah baiknya diperbaiki di bagian ini ini ini..... " dengan begitu kan bawahan merasa dihargai dan tidak terdemotivasi, dan tidak pula mendendam dengan atasannya.

Namun dalam kasusku itu, si Bos ini sudah ikut soft skill course berkali-kali, ikut pelatihan kepribadian dari Lembaga Terkenal di Jakarta 'John Robert Power', eh kok masih gitu-gitu hasilnya, jadi kesimpulannya pembelajaran tentang soft skill baginya adalah gagal total, karena watak bawaan orok dia lebih dominan daripada sekedar teori-teori soft skill yang dia pelajari.

Memang kemampuan soft skill seseorang tidak serta merta berubah sesaat setelah dia menerima teori tentang soft skill, namun memerlukan waktu yang relatif panjang disertai niat yang kuat dari yang bersangkutan untuk berubah. Semoga saja seiring berjalannya waktu, bosku yang satu ini bisa merubah karakteristiknya yang negatif.

Bagaimana besok kalau aku jadi Bos ya....???

Saturday, December 8, 2012

Kapan Bisa Melepas Status 'Anak Kos' ?

Ngekos lagi, ngekos lagi...... Itulah yang terlintas pertama kali di pikiranku saat pertama kali aku mendapat kabar mutasi ke Balikpapan.

Awal mula aku menjalani kehidupan kos adalah di Jogja, saat aku mulai memasuki bangku kuliah. Dari tahun 2002 sampai akhir 2008, 6 tahun lebih aku ngekos di kota jogja dengan 2 kali pindah kos.

Awal tahun 2009 aku mulai kerja di Jakarta, aku pun mulai ngekos di Jalan Kelinci kawasan Pasar Baru. Ini adalah kos-kosan termewahku. Aku mendapatkan kos ini dari info di internet dan harga sewanya sejumlah Rp 1.250.000 sangatlah mahal bagiku kala itu, terlebih diharuskan pula mendepositkan uang sejumlah itu juga untuk uang jaminan yang bisa diambil lagi jika memutuskan keluar kos. Tapi kosnya itu sungguh exclusive menurutku, seperti apartemen versi mini. Bagaimana tidak, masuk saja harus dengan finger print, juga dilengkapi dengan cctv di setiap sudut ruangan. Saat aku masuk ke kamarnya, terasa nyaman sekali walaupun kecil. Kosnya masih baru, sehingga bau cat-nya pun masih menyeruak. Springbednya empuk dan nyaman meskipun kecil, ada TV dan AC, kamar mandinya seperti kamar mandi hotel, ada air panas dan dingin pula, oh sungguh sesuai dengan harganya. Ada pula dapur bersama di lantai 5. Fasilitas laundry gratis juga disediakan. Mbak-mbak penjaga kosnya juga baik hati dan ramah. Jika aku suntuk pulang dari kantor, aku sering naik ke lantai 5 atau 6 untuk memandang pemandangan langit jakarta terlebih tugu monas terlihat dekat dan jelas sekali dari kosku itu. Aku sudah terlanjur betah di kos itu, namun aku harus meninggalkannya dikarenakan aku dimutasi pindah tugas di kantor baruku di kawasan Kebayoran Baru Jakarta Selatan, padahal baru sebulan aku berkantor di Lapangan Banteng.

Kos kedua-ku di Jakarta adalah di kawasan Kebayoran Baru. Harganya hampir sama dengan kosku yang pertama yaitu Rp 1.200.000. Kelebihannya di kos baru ini adalah kamar lebih luas, tempat tidur juga lebih luas, ada akses internet kecepatan tinggi (sekitar 2 Mbps). Namun kamar mandi di luar dan tidak ada air panasnya. Aku juga cuma sebulan di kos itu.

Kosku ketiga adalah di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Relatif lebih murah harganya, kamar mandi dalam tanpa AC Rp 500.000 dan yang pakai AC Rp 700.000. Namun ketika aku masuk hanya tersisa yang non AC, tapi 3 bulan kemudian ada kamar AC yang kosong, jadilah aku pindah ke kamar itu. Aku cukup akrab dengan keluarga pemilik kos, terlebih anak perempuannya yang sama-sama bekerja di lembaga pemerintahan yang sama namun beda direktorat. Aku tiga tahun lebih bertahan di kos itu, karena aku sudah merasa cukup nyaman sampai akhirnya aku punya rumah sendiri di kawasan Sarua, Tangerang Selatan.

Baru kutempati sekitar 1,5 bulan, dan sedang senang-senangnya punya rumah baru, aku harus mendengar kenyataan bahwa aku harus mutasi ke Balikpapan. Tapi aku harus menjalaninya sebagai abdi negara.

Kos pertamaku di Balikpapan adalah rumah baru di gang depan kantor yang merupakan bekas tanah rawa. Air sumurnya seringkali coklat berlumpur, padahal sudah disaring dengan filter khusus. Aku sekamar dengan 2 orang temanku yang sama-sama dimutasi ke Balikpapan. Jadi itu adalah pengalaman seumur hidupku hidup bersama bertiga dalam satu kamar. Untungnya hanya sebulan kami disitu, karena disamping airnya yang kurang bagus, karena kami juga ingin ngekos dengan kamar sendiri-sendir, bukan bertiga lagi.

Kos keduaku di Balikpapan hanya sekitar 50 meter di sebelah barat kantor, jadi aku cukup berjalan kaki saja ke kantor. Kami bertiga pun juga kos di tempat yang sama lagi, bedanya kami sekarang kos dengan kamar sendiri-sendiri.

Aku jadi berpikir, sampai kapan aku harus menghabiskan hidupku di kos-kosan. Kapan status sebagai anak kos tidak melekat lagi denganku? Padahal aku adalah seorang Bapak yang sudah dikaruniai putra gagah yang saat ini baru berusia 5 bulan. Kapan aku bisa berkumpul dengan anak istriku? Kapan?????

Harapanku, semoga dalam waktu dekat ini aku bisa promosi ke Jakarta. Amin. Harus OPTIMIS!